Saya terkadang bingung dengan sikap apriori bangsa ini.
Sudah banyak para ahli luar yang mengemukakan teori bahwa bangsa Nusantara itu
awal dari peradaban dunia. Bahkan sudah ada yang berani mengemukakan teori
"Out of Sundaland" seperti
ilmuwan sekaliber Stephen Oppenheimer. Belum lagi seorang ilmuwan Brazil yang
bernama Arisiyo Santos, yang secara gamblang mengemukakan dengan disertai
bukti-bukti hasil penelitian selama 30 tahun dengan dukungan berbagai disiplin
ilmu, yang menghasilkan kesimpulan bahwa peradaban Atlantis ada di Indonesia
(baca buku "Atlantis, The Lost Continent Finally Found" oleh
Prof. Arisiyo Santos). Dari pendapat ahli luar saja, bangsa kita masih bersikap
skeptis, tidak percaya diri. Apalagi jika pelontar teori-teori tentang kejayaan
Nusantara adalah para peneliti lokal, langsung dihabisi, dicaci maki, tanpa
melakukan riset untuk menguji teori yang berkaitan.
Memang
tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena selama masa penjajahan dulu,
bukti-bukti kejayaan kita dihilangkan dan kita dididik untuk selalu menjadi
jongos di hadapan tuan bule dan tuan sipit. Dan sesama pribumi terbiasa saling
menjatuhkan satu sama lain demi menjilat hati para tuannya.
Sobat
blogger, kali ini saya akan mengemukakan hasil penelitian seorang Profesor yang
bernama Ann Kumar. Ann Kumar adalah peneliti dari ANU (Australian National
University) di bidang keahlian: Sejarah Asia, Studi Masyarakat dan Agama, Studi
Budaya Asia.
Yang
menarik perhatian saya adalah publikasi artikel Prof. Ann Kumar pada International Institute of Asian Studies
Newsletter tahun 2004. Dimana, dalam artikel tersebut Prof. Ann Kumar
mengungkapkan ada hubungan antara peradaban Jepang dengan Jawa.
Selama
ini, menurut pengetahuan yang kita dapat, kecil sekali kemungkinan ada hubungan
antara peradaban Jepang dengan Jawa, akan tetapi hasil penelitian Prof. Ann
Kumar yang diterbitkan dalam artikel ini dan berdasarkan bukti-bukti
penelitiannya menggambarkan hasil yang sebaliknya, pada kenyataannya peradaban
Jawa memiliki pengaruh substansial dalam perkembangan peradaban awal bangsa
Jepang.
Jepang
melewati transformasi revolusioner pada periode Yayoi (dari sekitar 300 SM
sampai 250-300 M) dimana pada jaman ini telah diperkenalkan suatu peradaban
bercocok tanam padi yang maju dan luas, pekerjaan metalurgi yang canggih, agama
yang tersentralisasi dan masyarakat hierarki yang berpuncak pada raja/kaisar.
Salah satu misteri terbesar dari sejarah Jepang adalah mengapa setelah 10.000
tahun statis, masyarakat pengumpul hasil buruan (hunter-gathering) yang dikenal dengan periode J_mon (Jomon)
mengalami perubahan drastis dalam periode Yayoi.
Bukti-bukti
skeletal mengindikasikan bahwa imigrasi merupakan kunci dari perubahan
diatas dibandingkan inovasi lokal. Perubahan drastis ini tidak hanya pada
bidang pertanian, akan tetapi terjadi pada bidang-bidang utama juga, tetapi
perubahan pada pekerjaan logam (metal-working) yang maju dan area kebudayaan
yang sepenuhnya berkembang, menjadi pendukung kesimpulan bahwa
adanya pengaruh dari luar lebih masuk akal dibandingkan proses yang lebih
gradual dari evolusi lokal.
Besi
dan Perunggu
Meskipun
riset zaman besi dan perunggu di Jawa sangat minim, akan kita sama-sama
telah mengetahui bahwa pengembangan pekerjaan logam telah ada lebih dulu
dibandingkan di Jepang. Ada kesamaan tipologi yang mencolok antara artifak
Yayoi berupa: bel, pedang, dan jambangan dengan yang ada di Jawa. Kesamaan ini bukan hanya sekedar
kesamaan generik, akan tetapi terdapat kesamaan objek, fungsi, fitur, khasanah motif yang digunakan serta detil pada
dekorasi.
Jambangan
pada periode Yayoi dengan bentuk klasik dan dekorasi geometris yang kaku sangat
mirip dengan jambangan Jawa tetapi tidak sama dengan jambangan pada periode
Jomon.
Jomon Pottery (ca. 5000 BC) |
Initial Jomon Pottery (ca. 10.000 - 8000 BC) |
Yayoi Pottery (ca. 100-300 AD) |
Yayoi Pottery (ca. 100-300 AD) |
Old Java Pottery |
Kesamaan yang tampak jelas tidak hanya berhubungan dengan bentuk dan dekorasi, akan tetapi terhadap hal khusus yang berkaitan dengan senjata pedang, teknik khusus pembuatan pedang Jepang sama dengan teknik pembuatan senjata di Jawa. Beberapa pedang Jepang yang terdahulu memiliki karakteristik cahaya (pamor) asimetris pada pangkal pedang yang merupakan penggabungan dari beberapa dekorasi Keris (senjata tradisional Jawa) menjadi satu keluarga. Yang lebih signifikan, Keris dan pedang Jepang dibuat dengan teknik khusus yang sama. Pada kasus artefak lainnya, seperti topeng-topeng dan arsitektur merupakan contoh yang menunjukan kuatnya hubungan antara Jepang dengan Jawa, sehingga menarik perhatian peneliti Jerman dan Jepang sebelumnya serta menimbulkan pertanyaan bahwa pasti ada penjelasan historis terkait hal ini.
Untuk
menyajikan penjelasan historis, Prof. Ann Kumar menggunakan strategi “consilience
of induction” suatu terminologi yang pertama kali digunakan oleh William
Whewell (1840) dan kemudian digunakan oleh Darwin dalam “Origin of Species”.
Strategi ini menggunakan beberapa alur bukti yang terpisah dari kumpulan-kumpulan dan fenomena atau
kelas-kelas fakta yang berbeda untuk membentuk kerangka penjelasan yang
terintegrasi.
Beras,
Agama dan DNA
Keterkaitan
antara bermacam-macam jenis budidaya beras menurut Ann Kumar sangat komplek dan
tidak dapat dieksplorasi pada artikel ini, akan tetapi cukuplah menunjuk kepada
hasil riset Morinaga (1968) yang telah membuktikan bahwa beras Jawa (Javanica)
mempunyai kekerabatan erat dengan beras Jepang pada umumnya, demikian pula
sebaliknya. Hal ini merupakan pembuktian genetis pertama yang menetapkan
hubungan tipologi antara Jepang dengan Jawa. Beras, yang merupakan basis
peradaban Yayoi, juga mempunyai signifikansi reliji paralel baik di Jepang
maupun di Jawa.
Signifikansi
ini dicerminkan pada mitos (Jepang dan Jawa) tentang dewi/bidadari yang turun
dari bulan dengan membawa padi untuk umat manusia, dan juga pemakaian jubah
surgawi/kahyangan oleh raja/kaisar pada hari pelantikannya.
Jepang
dan Jawa juga berbagi mitos mengenai dewi laut yang menguasai dan memerintah di
dunia bawah laut serta menguasai alam ghaib, mitos sekular yang lain adalah
tentang pangeran tampan berseri-seri (bercahaya), mempunyai pasangan cantik
jelita, memakai pakaian luar biasa, bercita rasa seni tinggi, dan sangat
sensitif. Pangeran ini di Jawa dikenal dengan nama Panji sedangkan di Jepang
dikenal dengan nama Genji, melambangkan pencapaian tertinggi kehidupan kerajaan
yang dapat dibayangkan. Pagelaran budaya yang disebut Shinto juga cocok dengan
budaya di Jawa.
Ditemukan
pula bukti genetik mengenai kontak antara Jepang dengan Jawa. Bukti positif
dari penelitian sebelumnya menggunakan indikator-indikator seperti gigi,
tengkorak dan darah yang telah dikonfirmasi oleh penelitian Prof. Ann Kumar
(1998) dengan penelitian d-loop (d-loop adalah bagian dari mitokondria
DNA), yang menunjukan bahwa orang Jepang dan Jawa berbagi sites (lokasi-lokasi tertentu pada d-loop) sedangkan pada populasi
Asia lain tidak ditemukan. Hal ini mengindikasikan bahwa bukan hanya pengaruh
teknologi dan budaya yang dibawa dari Jawa, akan tetapi sejumlah besar imigran
juga.
Bahasa
Sudah
jelas juga bahwa kontak yang terjadi dalam skala magnitudo menyodorkan bukti
ada keterlibatan kontak bahasa atau peminjaman bahasa. Teori berbeda yang berkaitan dengan
bahasa Jepang telah dilakukan oleh para peneliti, dan bahasa Jepang telah
dikaitkan dengan bahasa yang berasal dari bahasa Basque, Tamil. Kandidat yang
paling favorit untuk hubungan genetik dengan Jepang adalah Korea. Meskipun
memang ada hubungan genetik jauh dengan bahasa Korea, bahasa Korea tidak
mungkin menjadi bahasa para imigran yang membawa inovasi pada periode Yayoi.
Jika kasusnya seperti ini, usaha-usaha untuk membuktikan hubungan antara Jepang
dan Korea dengan menggunakan metode komparasi (yang dapat dicapai sampai dengan
periode Yayoi) mungkin sudah berhasil sekarang.
Prof.
Ann Kumar dan Rose (2000) menyajikan data yang secara jelas meneguhkan
peminjaman bahasa (dibandingkan hubungan genetik) oleh bentuk bahasa Jepang
terdahulu, bukan dari bahasa Korea, tetapi berasal dari bahasa Jawa. Data
bahasa ini telah dievaluasi secara statistik dengan menggunakan probabilitas Bayesian. Lebih jauh, bukti-bukti bahasa
menunjukan banyak aspek yang berbeda dari kontak langsung (membuktikan bahwa
peminjaman bahasa oleh Jepang dari Jawa, bukan sebaliknya), lokasi persisnya dari
bahasa pendonor, intensitas kontak, dan ide serta konsep yang diimpor, secara
alami, tidak dapat ditemukan pada arkeologi masa kini. Ann Kumar dan Rose juga
menemukan kata-kata yang dikenal baik di Jawa maupun periode Yayoi seperti kata
untuk: pedang, gudang, pagar,tepung, piring, pakaian dan keranjang (objek
material) sebagaimana juga konsep kebaikan, kesetiaan dan kedewaan, serta ide
raja adalah dewa.
Beberapa
kata dipinjam dari spektrum bahasa budaya yang lebih tinggi, seperti bahasa
Jawa kuno “matur”, berarti
memberikan, mempersembahkan, menceritakan atau melaporkan kepada orang yang
tingkatannya lebih tinggi, yang mana kata ini dipinjam oleh bahasa Jepang kuno
sebagai “matur” juga, dengan arti
memberi atau mempersembahkan sesuatu untuk orang yang pangkatnya lebih tinggi
atau kepada Dewa (memanjatkan do’a). Kata ini juga digunakan sebagai “humble-auxilary”, digunakan sebagai affix menunjukan kesopanan dalam bahasa
Jepang lama sebagaimana juga memiliki kesamaan arti dalam bahasa Jawa, termasuk
berbicara kepada orang yang lebih superior (masih dipakai di Jawa sampai
sekarang).
Strategi
“consilience of induction” juga
memaparkan bahwa ada pengaruh budaya yang signifikan dan sekurangnya beberapa
migrasi (tergantung berapa yang dibutuhkan oleh peneliti) dari Jawa ke Jepang. Kendati
insting kita menolak ide tersebut, orang Jawa memang melakukannya, faktanya
mereka berlayar “ke atas peta” ke Jepang yang merupakan arah ke arus mengalir.
(nenek moyang Austronesia dari Jawa telah berhasil melakukan perjalanan yang
lebih sulit ke arah Selatan dari Taiwan pada masa lebih awal).
Meskipun
banyak penganut yang percaya bahwa peradaban Jepang berasal dari Korea dan
menganggap hal ini adalah keterlaluan, pada faktanya didukung oleh lebih banyak
bukti dibandingkan beradu hipotesis, dan bukti-bukti ini tak dapat diabaikan.
Riset
ini membuka pencerahan baru pada perkembangan Jepang dan Jawa. Riset ini
membuktikan peradaban Jawa pada kenyataannya lebih dan lebih orisinil
(dibandingkan berasal dari India seperti yang biasa dikemukakan) daripada
kenyataan yang ada sebelumnya. Riset ini juga menciptakan perspektif baru dalam
hal melihat hubungan gender dalam peradaban yang berbeda, sejak peradaban
khusus ini melihat wanita sebagai pengusung pemberian berharga seperti beras
dan pakaian, dan dewa pelindung raja-raja. Akhirnya, riset ini juga membantu
untuk menjelaskan ketahanan peradaban Jawa dalam menghadapi pengarus budaya
luar dan penjajahan pihak asing.
Referensi
- Kumar, Ann (1998) ‘An Indonesian Element in the Yayoi?: The evidence of Biological Anthropology’ in Anthropological Science, 106(3): 265-276;
- Kumar, Ann, and Rose, Phil (2000) ‘Lexical Evidence for Early Contact Between Indonesian Languages and Japanese’ in Oceanic Linguistics, 39(2): 219-255;
- Morinaga, T. (1968) ‘Origin and Geographical Distribution of Japanese Rice’ in Japan Agricultural Research Quarterly 3(2): 1-5;
- Whewell, William (1840) The philosophy of the inductive sciences, founded upon their history, London: J.W. Parker;
No comments:
Post a Comment