Suatu ketika, saya sangat penasaran mengenai asal-usul istilah "Debat Kusir". Kenapa kok profesi "supir" delman ini yang dijadikan istilah? kenapa profesi supir yang lain tidak seperti debat tukang bajaj, debat abang becak atau debat abang ojek.
Setelah saya telusuri ternyata istilah "Debat Kusir" memiliki beberapa versi cerita asal-usul yang menurut saya lucu dan menarik.
Versi PertamaPada suatu hari KH. Agus Salim sedang naik delman yang dikendalikan oleh seorang kusir, tiba-tiba kudanya kentut (buang angin), maka KH Agus Salim berkomentar, "kasihan ya, kudanya masuk angin..."
Lalu kusirnya menjawab, "tidak, kuda saya keluar angin."
Agus Salim berkata lagi "iya itu artinya masuk angin", lagi-lagi kusirnya menjawab, "tidak, itu artinya keluar angin."
Demikianlah sampai ke tempat tujuan, perdebatan apakah kuda tsb masuk angin atau keluar angin tidak berakhir, sehingga KH. Agus Salim terus mengingat debatnya bersama kusir tersebut.
Di PBB dia bisa menang berdebat dengan para diplomat mancanegara, tapi di kampungnya sendiri dia kalah berdebat dengan kusir delman.
Disuatu rapat penting yang menentukan nasib Republik Indonesia, saat memasuki fase tanpa titik temu dalam sidang tersebut, KH. Agus Salim mengingatkan semua peserta agar menghindari debat kusir. Kontan, bertanya-tanyalah semua anggota pertemuan tersebut, apa itu debat kusir? Maka diceritakanlah kisah KH. Agus Salim berdebat dengan kusir di atas. Sejak saat itu debat kusir menjadi istilah yang lazim digunakan rakyat Indonesia sampai sekarang.
Versi KeduaCeritanya sama dengan versi pertama hanya saja si kusir (sais) yang kentut (buang angin). Merasa si kusir kurang sopan, karena sang kusir duduknya membelakang penumpang, KH. Agus Salim menyindir si kusir tanpa berusaha menyinggung perasaannya.
"Kasihan, kudanya masuk angin ya bang?" tanya KH. Agus Salim.
"Tidak pak, kudanya keluar angin", jawab
perdebatan antara "masuk angin" dan "keluar angin" tidak terdapat titik temu sampai KH. Agus Salim ke tempat tujuan. Cerita selanjutnya sama dengan kisah pertama.
Versi KetigaSaya rasa versi ketiga ini merupakan "remake" dari kisah KH. Agus Salim, hanya aktornya saja yang berbeda yaitu Mantan Menteri Penerangan jaman Orde Baru, Bpk. Harmoko. Mungkin juga ini merupakan versi parodinya dari seseorang yang mengkritik seorang menteri pada pemerintahan Orde Baru. Kurang lebih begini ceritanya...
ketika Birokrat ulung Indonesia pada jaman orde baru Harmoko iseng naik delman (dokar) dari rumah menuju tempat kerjanya. Baru beberapa meter delman melaju, tercium bau menyengat yang tidak enak. Kemudian:
Pak Harmoko : “Bang, delmannya kok bau yach ?”.
Kusir yang juga merasakan adanya bau itu langsung menjawab : “iya maaf pak, kudanya kentut !”
Pak Harmoko menimpali : “ Kudanya masuk angin tuch, makanya kalau malam masukkan ke kandang”
Merasa disalahkan Kusir lantas membantah : “Bukan masuk angin pak, tapi keluar angin”
Sebagai seorang birokrat ulung tentu menjawab lagi sambil berusaha meyakinkan si kusir : “Masuk Angin ah!”
Kusir yang merasa berpengalaman merawat kuda lantas menjawab lagi : “paaaaak, yang namanya kentut itu bukan memasukkan angin tapi mengeluarkan angin , jadi keluar angin ! bapak ini gimana sich ?
Pak Harmoko masih tetap berusaha meyakinkan dengan menambah referensi “menurut petunjuk bapak presiden, “… kuda itu masuk angin !
Pak Harmoko dan Kusir tetap pada pendiriannya tentang kentut (kuda) sampai akhirnya Pak Harmoko turun dari dokar untuk menuju kantor dan kusir kembali ke jalan untuk mencari penumpang lainnya.
Nah, dari "magic words" khas pak Harmoko yaitu "Sesuai petunjuk bapak presiden", maka saya mengambil kesimpulan bahwa cerita ini hanya parodi saja dari kisah yang dialami KH. Agus Salim.
Ternyata begitu toh ceritanya, jadi memang cocok jika digunakan istilah debat kusir, jadi si kusir kalau kentut pun bisa menyalahkan kudanya, tapi bagaimana jika supir bajaj, atau abang becak yang kentut seperti pertanyaan saya sebelumnya? mungkin langsung dimaki sama penumpangnya :)
No comments:
Post a Comment