Responsive Ads Here

Tuesday, December 15, 2015

Ibuku Keren: Tidak Sekolah, Tapi Visioner

Oleh: Sudirman Said

Ilustrasi seorang Ibu
Ilustrasi  gambar seorang ibu
[Sudirman Said, Dirut Pindad, Ketua Ikatan Alumni STAN 2O13 - 2O16, Pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia, Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia, Aktif melibas Mafia Migas saat bertugas di PERTAMINA namun terpental, Konsisten hingga sekarang melawan KKN]. 

“Kowen kabeh kudu sekolah. Emakmu wong melarat jeprat, ning aja nganti uripmu pada sengsara kaya kuli panggul kae”. (Apapun yang terjadi, kalian semua mesti sekolah. Meskipun Ibumu amat miskin, tapi jangan sampai hidup kalian sengsara seperti kuli-kuli panggul itu). Ini ucapan almarhumah Ibu saya di suatu sore, tahun 1973, di beranda rumah gedek berlantai tanah beratap genteng dengan wuwungan bocor di sana sini. 

Kami enam bersaudara kebetulan sedang ngeriung, sambil memandangi puluhan kuli panggul bekerja bertelanjang dada, dengan punggung terbakar dan luka tergores karung goni dan pikulan bambu. Mereka harus memindahkan puluhan ton padi hasil panen dari sawah ke pinggir jalan. Jalanan dari sawah menuju jalan besar penuh lumpur setinggi mata kaki hingga betis orang dewasa. 

Ketika itu saya kelas lima SD, setahun setelah Bapak (Said Suwito Harsono) wafat. Saat-saat yang paling sulit dalam perjalanan hidup keluarga kami. Ketika wafat, Bapak adalah seorang pensiunan Mantri Guru, Kepala Sekolah yang sebenarnya memiliki kedudukan sosial terhormat. Tapi karena kebiasaan hidup dan kegemaran Bapak (yang kurang baik diceritakan disini), ekonomi rumah tangga morat marit. Saya teringat setiap bulan setelah hari gajian pensiunan, hampir pasti terjadi pertengkaran antara Ibu dan Bapak. Pulang dari kantor Pos mengambil uang pensiun Bapak sering hanya membawa amplop kosong, karena uang pensiun habis dipakai membayar utang. Ibu sangat sering tidak kebagian apapun. Sementara untuk bertahan hidup dengan enam anak, harus terus menerus berutang ke berbagai warung tetangga. 

Seluruh warung kelontong menjadi langganan utang Ibu. Kalau satu pemilik warung sudah tidak bersedia memberi, utangnya pindah ke warung lain. Sesekali kalau sudah kepepet, Ibu menggadaikan apa saja yang dimiliki untuk mendapatkan uang cash,mencicil utang agar “credit line” nya hidup lagi. Pergi ke kota kecamatan terdekat (Ketanggungan), membawa kain batik yang masih layak gadai, atau dandang tembaga, atau peralatan dapur apa saja yang masih ada nilainya. 

Barang yang paling tinggi nilai gadainya ketika itu adalah sepeda, tapi kami hanya punya sepeda satu-satunya dan dipakai Bapak kemana-mana. Keadaan keuangan keluarga sedikit membaik kalau Bapak dapat lebihan uang pensiun, atau rapel kenaikan. Utang-utang yang menunggak di bayar dan Ibu menjadi lebih percaya diri, untuk kemudian menumpuk utang lagi. 

Sesekali Bapak memenangi lotre nalo, salah satu kegemaran yang merusak keuangan keluarga. Meskipun tentu lebih banyak kalahnya, saat-saat menang lotre ini adalah saat yang menyenangkan, karena bisa makan lebih enak dengan lauk ikan atau telor. Saat makan enak lainnya adalah kalau ada keluarga atau tetangga punya hajat, mantu atau nyunati. Biasanya Bapak diundang selamatan dan pulangnya membawa nasi berkat dengan lauk pauk lengkap: sayur, mie, ikan, telor, bahkan sekerat daging kalau yang berhajat orang yang berkecukupan. 

Dalam suasana beginilah kami dibesarkan, dan dalam suasana begini pula tiba-tiba Bapak harus pergi meningglkan kami semua di tahun 1972. Usia Bapak ketika itu 62, beliau lahir tahun 1910. Ketika menikah, pasangan Ibu dan Bapak beda usia cukup lebar, Ibu lebih muda 29 tahun dari pada Bapak. Ibu masih sangat muda, sementara Bapak adalah seorang Guru yang kebetulan pernah mengajar Ibu di Sekolah Rakyat desa tetangga (Sitanggal), yang memang lebih maju dari desa Slatri. Di Slatri ketika itu belum ada sekolah. Maka, sepeninggal Bapak kehidupan kami semakin memburuk. Mengurus hak pensiun janda ketika itu seperti memasuki kotak hitam, apalagi bagi seorang desa tulen yang tak tamat SR seperti Ibu. 

Beliau harus bolak balik ke kota kabupaten (Brebes), lantas ke kota Karisedenan (Pekalongan), dan selanjutnya ke ibukota provinsi (Semarang). Dapat dibayangkan tantangan yang harus dihadapi seorang perempuan desa yang pergi ke kecamatan saja hanya untuk ke kantor pegadaian. Bukan saja keberanian yang tidak ada, dan rentan dikerjai oleh para calo pengurusan pensiun ketika itu, tapi juga tidak memiliki uang yang cukup untuk sekedar ongkos transport. Maka proses pengalihan hak pensiun memakan waktu lebih dari setahun, karena Ibu harus menunggu uang cukup untuk bisa pergi ke Brebes, Pekalongan atau Semarang. Banyak cerita yang menakutkan Ibu ketika mengurus hak pensiun jandanya, banyak koleganya yang ketika menerima rapel yang sudah ditunggu setahun lamanya, dipotong setengahnya oleh petugas yang membayar. 

Bulan-bulan dan tahun-tahun sesudah Bapak wafat, adalah saat yang memberi pelajaran mendalam tentang perjuangan seorang Ibu membesarkan anak-anaknya. Ibu bekerja serabutan apa saja yang penting mendatangkan upah, meskipun upah itu hanya berbentuk nasi jagung sebakul kecil (cething) dengan lauk pauk alakadarnya. Yang penting bagaimana menyediakan makanan bagi anak-anaknya. Kadang-kadang jadi buruh menyiangi padi, menanam berambang, atau ikut memanen padi untuk mendapatkan bagian. Di saat paceklik di desa kami, tak jarang Ibu harus meninggalkan anak-anak untuk “kurung”, merantau beberapa bulan untuk mendapatkan pekerjaan. Daerah Patrol dan Haurgeulis di Jawa Barat yang jadi salah satu lumbung padi nasional, sering jadi tujuan beliau merantau, karena daerah ini menanam padi hampir sepanjang tahun. Jadi tidak mengenal paceklik. 

Untuk pergi ke Haurgeulis, Ibu naik kereta ekonomi (sepur trukthuk, kereta yang berhenti di setiap stasiun), naik dari stasiun Ketanggungan. “Ritual” Ibu sebelum berangkat adalah mencari pinjaman uang untuk membeli karcis, dengan janji setelah pulang dari merantau di bulan berikutnya akan dikembalikan, dari sebagian upah yang diterimanya. Sekembali dari Haurgeulis, biasanya Ibu membawa padi (gabah), upah dari memanen. Aturan main yang berlaku ketika itu, kalau memanen padi delapan baskom, si buruh panen memperoleh bagian satu baskom (8:1). Juragan yang dermawan biasanya menerapkan aturan lebih longgar 7:1, atau memberi tambahan beberapa baskom gabah pada waktu membagi hasil panen. 

Gabah hasil bagian dijemur di perantauan, dan dibawa pulang naik kereta sudah dalam keadaan kering. Kalau Ibu merantau sebulan lamanya, bisa membawa pulang satu atau dua karung kecil gabah kering, yang kalau digiling menjadi beras bisa menghasilkan 10 sampai 20 kilogram. Tidak semua beras itu dimasak sendiri, tapi separohnya ditukar dengan jagung untuk dicampur baru dimasak. Harga jagung jauh lebih murah, dan dengan begitu beras yang sudah dicampur dengan jagung itu bisa dipakai bertahan hidup lebih lama sebelum Ibu harus pergi lagi ke Haurgeulis, atau daerah lain untuk menjadi buruh panen.
Di tahun-tahun tertentu, Ibu harus bekerja lebih keras, dan menghabiskan waktu lebih lama di rantau, karena sebagian upahnya harus dijual untuk membayar uang sekolah yang sudah beberapa bulan tertunggak. Menunggak uang sekolah tiga empat bulan itu sudah menjadi langganan, dan para guru di sekolah sudah hafal kondisi keluarga kami. 

Syukurnya, ada beberapa guru yang dulu pernah menjadi murid Bapak, jadi mereka “pengerten”, tidak mengejar bayaran uang sekolah terlalu menekan ke kami. Sesekalo Ibu berganti “profesi”, membuat kue dan dijajakan keliling kampung. Kuenya macam-macam, sesederhana singkong diparut dicampur gula terus dibungkus daun pisang dan dikukus (sekarang saya mengenalnya dengan sebutan “timus”), atau gemblong singkong ditaburi kelapa parut, atau kolak pisang. Di lain waktu, biasanya ketika memulai bulan puasa sampai menjelang lebaran, Ibu membuka warung kecil di emperan rumah; menyediakan candil, kembang pacar, dan makanan pembuka puasa lainnya. 

Ketika orang-orang kaya tertentu punya hajat, Ibu sering diminta bantuan membuat kue-kue kering: rengginang, kembang goyang, atau kue semprong. Kalau pakai kacamata manajemen, mungkin inilah yang disebut “networking”, hubungan baik dengan beberapa keluarga kaya itu yang membuat mereka sering memberikan pertolongan di saat sangat kepepet tidak ada jalan lain. Bantuan yang diberikan bisa pinjaman uang SPP atau beras dan jagung untuk menyambung makan anak-anak. Dalam urusan pinjam meminjam, sepanjang pengetahuan saya, Ibu selalu saja berusaha menepati janji mengembalikan pinjaman, meskipun untuk itu beliau harus meminjam lagi ke orang lain. “Gali lubang tutup lubang”, memang, tapi dengan itu Ibu menjaga kepercayaan orang untuk memenuhi janjinya. Dan karena kepercayaan itu setiap kali Ibu membutuhkan bantuan mereka, jarang sekali ditolak. 

Dua kisah sulitnya hidup berikut ini, sering saya ceritakan ke anak-anak saya berulang-ulang sebagai pengingat dan penggugah rasa syukur. Suatu ketika adik laki-laki di bawah saya persis (Sartono, namanya) sakit diare, yang memaksa dia harus bolak balik buang air besar sepanjang malam. Karena hanya punya persediaan minyak satu “senthir” kami semua (bertujuh!!), tidur di salah satu bilik. Ibu dan adik-adik yang kecil tidur di atas, dan yang lain tidur di lantai beralas tikar pandan. Pada saat Sartono harus buang air, senthir itu harus menyertainya ke kali di seberang jalan. Tentu saja di masa itu keluarga yang kayapun belum mengenal WC dalam rumah, jadi semua warga buang air di sungai. Warga yang lebih kaya punya “jobong”, tempat buang air dari bilik bamboo atau anyaman daun kelapa (bleketepe) yang dibangun dengan tiang dan dudukan bambu, di tepi tanggul sungai. 

Semua anak-anak harus ikut serta ke sungai, menemani Sartono karena tidak berani ditinggal dalam kegelapan. Selesai buang air, kami semua ikut ke sumur mengikuti lampu senthir, setelah Sartono bersih-bersih kami ramai-ramai masuk bilik lagi untuk tidur. Beberapa waktu kemudian Sartono mules dan minta diantar buang ke sungai lagi, dan kami semua dibangunkan Ibu untuk mengikuti Sartono ke kali, ke sumur, dan kembali ke bilik tidur lagi. Malam itu berkali-kali, semua anak-anak harus berjalan dalam kantuk, berpindah-pindah karena hanya ada satu lampu penerangan, sebuah senthir yang dibuat dari kaleng cat cap sepeda ukuran gelas air mineral. 

Cerita kedua adalah saat adik kami ke empat lahir, dan keluarga kami harus mengadakan kenduri memberi nama. Nama adik keempat kami adalah Emy. Dia lahir dalam situasi paceklik, harga beras begitu tinggi dan langka pula. Untuk membeli bahan makanan dan minyak penerangan setiap keluarga harus antri di Balai Desa mengambil kupon. Krisis ekonomi setelah sanering dan inflasi gila-gilaan sedang melanda Indonesia ketika itu. 

Karena tidak cukup punya beras, maka untuk memasak tumpeng dicampurlah dengan jagung. Setelah nasi masak, mulailah usaha membuat tumpeng dengan nasi beras campuran jagung. Setiap kali cetakan tumpeng dari kukusan bamboo diangkat, saat yang bersamaan puncak tumpeng berguguran karena “pera”. Ibu mencobanya berkali-kali sambil terus mencucurkan air mata. Saya masih sangat kecil ketika itu, dan belum paham sepenuhnya mengapa Ibu menangis. Setelah cukup besar, apalagi setelah dewasa menjalani hidup saya baru paham makna tangisan itu. Tekanan hidup yang harus dihadapi, rasa malu karena tak mampu menyediakan hidangan yang pantas di hari penting, dan juga gelapnya memandang hari depan anak-anaknya rupanya menghantui perasaan Ibu. 

Kata sanak family di kampung, ketika muda Ibu terbilang cantik. Meskipun tidak cukup uang, Ibu bisa dandan. Ketrampilan menjahitnya membantu beliau mampu membuat berbagai model pakaian, seperti rok, rok span, kain kebaya, sampai daster; bahkan baju dan celana untuk anak-anaknya. Pakaian favorit saya di masa kecil adalah angsop (celana pendek terusan mirip baju montir berkantong di dada). Yang istimewa dari baju model ini adalah kuat dan awet, karena terbuat dari kantong bekas tepung terigu. Anak-anak sebaya saya sering memakainya tanpa diwenter (diwarnai), sehingga cap kunci atau segitiga biru dengan tulisan “bogasari” masing terbaca. Banyak tetangga sering minta tolong Ibu menjahitkan baju model angsop. Di saat-saat tertentu, ketrampilan menjahit Ibu juga sangat menolong keuangan, terutama menjelang hari lebaran. 

Ketrampilan menjahit menjadi hiburannya. Dengan itu beliau punya perasaan bisa membantu orang. Kepada keluarga yang jauh lebih susah, Ibu sering menjahitkan baju gratis bagi anak-anaknya. Bahannya diambil dari kain cita, potongan-potongan kecil sisa orang menjahitkan baju. Mendapat baju “baru” gratis, para tetangga bahagianya bukan main. Meskipun tampilan baju baru itu tampak tak normal, banyak sekali jahitan sambungan, dengan tata warna yang tidak selalu matching. (Kalau itu terjadi sekarang, disebutnya daur ulang atau penjahit ramah lingkungan). Inilah salah satu pelajaran hidup terpenting, dalam keadaan serba terbataspun Ibu tetap terdorong untuk membantu orang lain. Kemampuan kita bukan prasyarat untuk membuat diri ringan tangan membantu sesama. Kemauan meringankan beban orang yang lebih menderita dari kitalah yang harusnya menjadi pendorong utama, sekecil apapun bentuk bantuan kita.
*****

Ibu saya, Tarnju, terlahir di tahun 1939 (hanya tahun yang beliau ingat, tidak ada keterangan tanggal lahir. KTP orang-orang tua ketika itu kadang-kadang tidak menulis tanggal dan bulan lahir). Sepenuhnya orang desa; lahir, dibesarkan, menikah, bernak pinak, hingga wafat tinggal di desa yang sama: desa Slatri, kecamatan Larangan, kabupaten Brebes. Karena keadaan, Ibu tidak tamat Sekolah Rakyat, kira-kira kalau ukuran sekarang hanya sampai kelas 3 SD. Beliau wafat tahun 2000 di saat semua anaknya sudah “sekolah”: seluruh kakak dan adik menyelesaikan SLTA, sesuai cita-citanya.

Ibu saya adalah isteri kedua Bapak, yang dinikahi setelah isteri pertama beliau wafat karena sakit. Dari isteri pertama Bapak memiliki empat anak, satu laki-laki, tiga perempuan. Sikap Ibu yang ngemong kepada anak-anak Bapak dari isteri pertama (anak tertua dari isteri pertama usianya lebih tua dari Ibu saya), membuat kami bersepuluh bergaul seprti saudara kandung. 

Mereka jauh lebih mampu, karena keluarga Ibu mereka tergolong keturunan orang kaya. Hubungan persaudaraan yang demikian membuat banyak masa-masa sulit kami lewati dengan pertolongan kakak-kakak sambung kami. Kesulitan ekonomi yang amat berat, membuat kami satu per satu secara bergiliran “ngenger” di salah satu anak Bapak dari isteri pertama. Sejak sebelum sekolah saya sudah menumpang, sambil membantu mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci dan menstrika baju, menyiram tanaman, dan sesekali bekerja di sawah. Praktis sejak sekolah, hidup saya ditopang oleh keluarga tempat saya menumpang itu.

Saya sendiri adalah produk pengecualian dalam keluarga besar Ibu dan Bapak. Selepas SMA, meskipun mendaftar ke sana kemari, tapi sadar sepenuhnya tak akan mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sampai suatu hari setelah bersiap jadi penganggur, saya membaca iklan di Koran Suara Karya yang ditunjukkan oleh Kakak lain ibu, yang berprofesi guru. Iklan pengumuman penerimaan mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, yang belakangan merubah total perjalanan hidup kami sekeluarga. Saking awamnya, mengeja STAN pun saya tidak bisa. Ketika ditanya oleh teman-teman yang sama-sama sedang periksa kesehatan di Rumah Sakit kabupaten, saya menyebutnya Es Te A En, dan oleh teman-teman yang sudah lebih tahu diluruskan: “Mas, maksudnya STAN..ya”. 

Perjalanan kuliah di STAN juga tak kalah menariknya. Meneruskan tradisi “ngenger” saya menumpang di family, seorang perwira Polisi tinggal di Kompleks dengan ukuran yang terbatas. Dengan anak tiga o, dan keponakan yang menumpang tiga orang ditambah saya, menjadi tantangan tersendiri untuk mengelola tempat tidur dan ruangan interaksi. Tiga orang-orang “penumpang” laki-laki diberi tempat tidur di balik lemari makan, membelah ruang makan berukuran 3 kali 3 meter. Di belakang lemari makan ada dipan, yang sudah digunakan oleh “senior”, maka saya kebagian tidur di kolong dipan itu dengan alas lampit daun pandan, tanpa Kasur. 

Alhamdulillah, bersyukur kepada Allah SWT saya dapat melewati masa-masa indah itu dengan selamat, tanpa sakit, hingga mendapat status Calon Pegawai Negeri Sipil. Di titik inilah, saya merasa sudah menjadi manusia seutuhnya. Memiliki penghasilan, bisa mengirim sebagian penghasilan untuk Ibu dan adik-adik meneruskan sekolah. 

Saat Ibu wafat keadaan kami sudah jauh berbeda. Sudah beberapa tahun saya mengundurkan diri dari PNS. Ibu bahagia karena saya masih “memaksakan” diri terus mengajar di STAN. “Man, STAN berjasa besar menyelamatkan kehidupan keluarga kita, jangan pernah melupakan STAN”, pesannya suatu ketika.
Program bea siswa yang disediakan oleh Kementerian Keuangan membawa saya ke jendela dunia. Aktivitas professional dan sosial saya memberi kesempatan untuk terus berkontribusi, baik di sector public, swasta, maupun organisasi nir-laba. 

Secara ekonomi, keadaan keluarga besar kami, Alhamdulillah, telah “mentas”, keluar dari kubangan kemiskinan absolut. Tidak semua berkecukupan, tetapi jauh dari suasana kekurangan. Kebiasaan Ibu menolong sesama, terus berlanjut sampai kami berkemampuan membahagiakan beliau. Sering kali anak-anak merasa gemas, karena maksud memberikan ini dan itu, tapi ujungnya apapun yang dimiliki selalu dibagi ke orang sekeliling. Setiap kali dihadapkan pada kesempatan berbuat sesuatu untuk orang banyak, saya selalu ingat pesan Ibu: “kamu bisa seperti ini karena jasa negara, dan banyak orang membantumu”. Sesekali saya tidak berfikir panjang untuk meninggalkan pekerjaan yang mapan, memasuki wilayah pelayanan publik. 

Ketika menyelesaikan tulisan ini, saya dilanda kerinduan yang mendalam kepada Ibu. Beberapa malam yang lalu, sampai saya bermimpi bertemu beliau, entah dalam suasana apa. Banyak hal yang menjadi kenangan, sekaligus sumber pelajaran hidup. 

Kebetulan saja saya sering membagi pengetahuan tentang manajemen organisasi, manajemen human capital, dan hal-hal yang berkaitan dengan Kepemimpinan. Salah satu cerita favorit saya adalah sikap Kaisar Hirohito setelah Jepang kalah dari sekutu dalam perang dunia kedua. Setelah mengumpulkan para petinggi negara, yang ditanya pertama adalah” “berapa guru yang masih hidup”. Dengan pendidikanlah Jepang memulai pembangunannya kembali untuk bangkit kembali, dan belakangan terbukti sebagai raksasa ekonomi dunia. 

Korea Selatan pun berhasil naik kelas dari negara berkembang menjadi negara industri maju, karena investasi besar-besaran dalam pendidikan dan teknologi. Begitupun Singapura, disain pembangunan yang disiapkan pertama kali ketika Inggris memberi kemerdekaan adalah menyelaraskan rencana pembangunan ekonomi dengan rencana pembangunan pendidikannya. Negara kota dengan luas seperempat DKI Jakarta, kini menjadi pusat pergaulan bisnis dunia, karena pendidikan.

Almarhum Ibu saya, tentu tak pernah ke Korea, Singapura apalagi Jepang. Tidak juga membaca literature atau berita dunia, karena keterbatasan pendidikannya. Berhenti sekolah di kelas 3 Sekolah Rakyat, tidak membuatnya berhenti memikirkan masa depan anak-anaknya. Tekadnya yang kuat: apapun yang terjadi, kalian mesti sekolah!!, telah merubah keadaan seluruh keluarga, tidak hanya keluarga inti, tapi seluruh keluarga besar kami. 

Hari-hari ini, semua sepupu dan keponakan berlomba menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Seperti ada kesepakatan untuk menempatkan pendidikan sebagai prioritas, dalam keadaan apapun.
Dr. Anies Baswedan, seorang Pendidik dan Pemimpin Pergerakan dalam berbagai kesempatan sering menyebut: “Pendidikan adalah eskalator bagi setiap manusia Indonesia untuk naik kelas, tidak saja bagi dirinya, tetapi bagi lingkungan yang lebih luas”. 

Dalam perenungan saya merasakan kehadiran Ibu, seorang perempuan desa, tak berpendidikan, yang ternyata telah membuktikannya. Perjalanan hidup yang sarat dengan penderitaan, kesulitan, dan serba keterbatasan, sedikitpun tidak menyurutkan tekadnya untuk mengentaskan anak cucu keturunannya, dari perangkap keterbelakangan.
Saya berdoa, semoga surga lah tempat beliau di alam abadinya. Dirgahayu untuk kaum Ibu Indonesia.
Jakarta, 22 Desember 2013
Sudirman Said

No comments:

Post a Comment