Responsive Ads Here

Wednesday, April 23, 2014

Japan's Javanese Connection


Saya terkadang bingung dengan sikap apriori bangsa ini. Sudah banyak para ahli luar yang mengemukakan teori bahwa bangsa Nusantara itu awal dari peradaban dunia. Bahkan sudah ada yang berani mengemukakan teori "Out of Sundaland" seperti ilmuwan sekaliber Stephen Oppenheimer. Belum lagi seorang ilmuwan Brazil yang bernama Arisiyo Santos, yang secara gamblang mengemukakan dengan disertai bukti-bukti hasil penelitian selama 30 tahun dengan dukungan berbagai disiplin ilmu, yang menghasilkan kesimpulan bahwa peradaban Atlantis ada di Indonesia (baca buku "Atlantis, The Lost Continent Finally Found" oleh Prof. Arisiyo Santos). Dari pendapat ahli luar saja, bangsa kita masih bersikap skeptis, tidak percaya diri. Apalagi jika pelontar teori-teori tentang kejayaan Nusantara adalah para peneliti lokal, langsung dihabisi, dicaci maki, tanpa melakukan riset untuk menguji teori yang berkaitan.

Memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena selama masa penjajahan dulu, bukti-bukti kejayaan kita dihilangkan dan kita dididik untuk selalu menjadi jongos di hadapan tuan bule dan tuan sipit. Dan sesama pribumi terbiasa saling menjatuhkan satu sama lain demi menjilat hati para tuannya.

Sobat blogger, kali ini saya akan mengemukakan hasil penelitian seorang Profesor yang bernama Ann Kumar. Ann Kumar adalah peneliti dari ANU (Australian National University) di bidang keahlian: Sejarah Asia, Studi Masyarakat dan Agama, Studi Budaya Asia. 

Yang menarik perhatian saya adalah publikasi artikel Prof. Ann Kumar pada International Institute of Asian Studies Newsletter tahun 2004. Dimana, dalam artikel tersebut Prof. Ann Kumar mengungkapkan ada hubungan antara peradaban Jepang dengan Jawa.

Selama ini, menurut pengetahuan yang kita dapat, kecil sekali kemungkinan ada hubungan antara peradaban Jepang dengan Jawa, akan tetapi hasil penelitian Prof. Ann Kumar yang diterbitkan dalam artikel ini dan berdasarkan bukti-bukti penelitiannya menggambarkan hasil yang sebaliknya, pada kenyataannya peradaban Jawa memiliki pengaruh substansial dalam perkembangan peradaban awal bangsa Jepang.

Jepang melewati transformasi revolusioner pada periode Yayoi (dari sekitar 300 SM sampai 250-300 M) dimana pada jaman ini telah diperkenalkan suatu peradaban bercocok tanam padi yang maju dan luas, pekerjaan metalurgi yang canggih, agama yang tersentralisasi dan masyarakat hierarki yang berpuncak pada raja/kaisar. Salah satu misteri terbesar dari sejarah Jepang adalah mengapa setelah 10.000 tahun statis, masyarakat pengumpul hasil buruan (hunter-gathering) yang dikenal dengan periode J_mon (Jomon) mengalami perubahan drastis dalam periode Yayoi.

Bukti-bukti skeletal mengindikasikan bahwa imigrasi merupakan kunci dari perubahan diatas dibandingkan inovasi lokal.  Perubahan drastis ini tidak hanya pada bidang pertanian, akan tetapi terjadi pada bidang-bidang utama juga, tetapi perubahan pada pekerjaan logam (metal-working) yang maju dan area kebudayaan yang sepenuhnya berkembang,   menjadi pendukung  kesimpulan bahwa adanya pengaruh dari luar  lebih masuk akal dibandingkan proses yang lebih gradual dari evolusi lokal.

Besi dan Perunggu
Meskipun riset zaman besi dan perunggu di Jawa sangat minim, akan kita sama-sama telah mengetahui bahwa pengembangan pekerjaan logam telah ada lebih dulu dibandingkan di Jepang. Ada kesamaan tipologi yang mencolok antara artifak Yayoi  berupa: bel, pedang, dan jambangan dengan yang ada di  Jawa. Kesamaan ini bukan hanya sekedar kesamaan generik, akan tetapi terdapat kesamaan objek, fungsi, fitur, khasanah motif yang digunakan serta detil pada dekorasi.

Jambangan pada periode Yayoi dengan bentuk klasik dan dekorasi geometris yang kaku sangat mirip dengan jambangan Jawa tetapi tidak sama dengan jambangan pada periode Jomon. 



Jomon Pottery (ca. 5000 BC)
Initial Jomon Pottery
(ca. 10.000 - 8000 BC)




Yayoi Pottery (ca. 100-300 AD)
Yayoi Pottery (ca. 100-300 AD)









Old Java Pottery



Kesamaan yang tampak jelas tidak hanya berhubungan dengan bentuk dan dekorasi, akan tetapi terhadap hal khusus yang berkaitan dengan senjata pedang, teknik khusus pembuatan pedang Jepang sama dengan teknik pembuatan senjata di Jawa. Beberapa pedang Jepang yang terdahulu memiliki karakteristik cahaya (pamor) asimetris pada pangkal pedang yang merupakan penggabungan dari beberapa dekorasi Keris (senjata tradisional Jawa)  menjadi satu keluarga. Yang lebih signifikan, Keris dan pedang Jepang dibuat dengan teknik khusus yang sama. Pada kasus artefak lainnya, seperti topeng-topeng dan arsitektur merupakan contoh yang menunjukan kuatnya hubungan antara Jepang dengan Jawa, sehingga menarik perhatian peneliti Jerman dan Jepang sebelumnya serta menimbulkan pertanyaan bahwa pasti ada penjelasan historis terkait hal ini.

Untuk menyajikan penjelasan historis, Prof. Ann Kumar menggunakan strategi “consilience of induction” suatu terminologi yang pertama kali digunakan oleh William Whewell (1840) dan kemudian digunakan oleh Darwin dalam “Origin of Species”. Strategi ini menggunakan beberapa alur bukti yang terpisah dari kumpulan-kumpulan dan fenomena atau kelas-kelas fakta yang berbeda untuk membentuk kerangka penjelasan yang terintegrasi.

Beras, Agama dan DNA

Keterkaitan antara bermacam-macam jenis budidaya beras menurut Ann Kumar sangat komplek dan tidak dapat dieksplorasi pada artikel ini, akan tetapi cukuplah menunjuk kepada hasil riset Morinaga (1968) yang telah membuktikan bahwa beras Jawa (Javanica) mempunyai kekerabatan erat dengan beras Jepang pada umumnya, demikian pula sebaliknya. Hal ini merupakan pembuktian genetis pertama yang menetapkan hubungan tipologi antara Jepang dengan Jawa. Beras, yang merupakan basis peradaban Yayoi, juga mempunyai signifikansi reliji paralel baik di Jepang maupun di Jawa.
Signifikansi ini dicerminkan pada mitos (Jepang dan Jawa) tentang dewi/bidadari yang turun dari bulan dengan membawa padi untuk umat manusia, dan juga pemakaian jubah surgawi/kahyangan oleh raja/kaisar pada hari pelantikannya.

Jepang dan Jawa juga berbagi mitos mengenai dewi laut yang menguasai dan memerintah di dunia bawah laut serta menguasai alam ghaib, mitos sekular yang lain adalah tentang pangeran tampan berseri-seri (bercahaya), mempunyai pasangan cantik jelita, memakai pakaian luar biasa, bercita rasa seni tinggi, dan sangat sensitif. Pangeran ini di Jawa dikenal dengan nama Panji sedangkan di Jepang dikenal dengan nama Genji, melambangkan pencapaian tertinggi kehidupan kerajaan yang dapat dibayangkan. Pagelaran budaya yang disebut Shinto juga cocok dengan budaya di Jawa.

Ditemukan pula bukti genetik mengenai kontak antara Jepang dengan Jawa. Bukti positif dari penelitian sebelumnya menggunakan indikator-indikator seperti gigi, tengkorak dan darah yang telah dikonfirmasi oleh penelitian Prof. Ann Kumar (1998) dengan penelitian d-loop (d-loop adalah bagian dari mitokondria DNA), yang menunjukan bahwa orang Jepang dan Jawa berbagi sites (lokasi-lokasi tertentu pada d-loop) sedangkan pada populasi Asia lain tidak ditemukan. Hal ini mengindikasikan bahwa bukan hanya pengaruh teknologi dan budaya yang dibawa dari Jawa, akan tetapi sejumlah besar imigran juga.

Bahasa
Sudah jelas juga bahwa kontak yang terjadi dalam skala magnitudo menyodorkan bukti ada keterlibatan kontak bahasa atau peminjaman  bahasa. Teori berbeda yang berkaitan dengan bahasa Jepang telah dilakukan oleh para peneliti, dan bahasa Jepang telah dikaitkan dengan bahasa yang berasal dari bahasa Basque, Tamil. Kandidat yang paling favorit untuk hubungan genetik dengan Jepang adalah Korea. Meskipun memang ada hubungan genetik jauh dengan bahasa Korea, bahasa Korea tidak mungkin menjadi bahasa para imigran yang membawa inovasi pada periode Yayoi. Jika kasusnya seperti ini, usaha-usaha untuk membuktikan hubungan antara Jepang dan Korea dengan menggunakan metode komparasi (yang dapat dicapai sampai dengan periode Yayoi) mungkin sudah berhasil sekarang.

Prof. Ann Kumar dan Rose (2000) menyajikan data yang secara jelas meneguhkan peminjaman bahasa (dibandingkan hubungan genetik) oleh bentuk bahasa Jepang terdahulu, bukan dari bahasa Korea, tetapi berasal dari bahasa Jawa. Data bahasa ini telah dievaluasi secara statistik dengan menggunakan probabilitas Bayesian. Lebih jauh, bukti-bukti bahasa menunjukan banyak aspek yang berbeda dari kontak langsung (membuktikan bahwa peminjaman bahasa oleh Jepang dari Jawa, bukan sebaliknya), lokasi persisnya dari bahasa pendonor, intensitas kontak, dan ide serta konsep yang diimpor, secara alami, tidak dapat ditemukan pada arkeologi masa kini. Ann Kumar dan Rose juga menemukan kata-kata yang dikenal baik di Jawa maupun periode Yayoi seperti kata untuk: pedang, gudang, pagar,tepung, piring, pakaian dan keranjang (objek material) sebagaimana juga konsep kebaikan, kesetiaan dan kedewaan, serta ide raja adalah dewa.

Beberapa kata dipinjam dari spektrum bahasa budaya yang lebih tinggi, seperti bahasa Jawa kuno “matur”, berarti memberikan, mempersembahkan, menceritakan atau melaporkan kepada orang yang tingkatannya lebih tinggi, yang mana kata ini dipinjam oleh bahasa Jepang kuno sebagai “matur” juga, dengan arti memberi atau mempersembahkan sesuatu untuk orang yang pangkatnya lebih tinggi atau kepada Dewa (memanjatkan do’a). Kata ini juga digunakan sebagai “humble-auxilary”, digunakan sebagai affix menunjukan kesopanan dalam bahasa Jepang lama sebagaimana juga memiliki kesamaan arti dalam bahasa Jawa, termasuk berbicara kepada orang yang lebih superior (masih dipakai di Jawa sampai sekarang).

Strategi “consilience of induction” juga memaparkan bahwa ada pengaruh budaya yang signifikan dan sekurangnya beberapa migrasi (tergantung berapa yang dibutuhkan oleh peneliti) dari Jawa ke Jepang. Kendati insting kita menolak ide tersebut, orang Jawa memang melakukannya, faktanya mereka berlayar “ke atas peta” ke Jepang yang merupakan arah ke arus mengalir. (nenek moyang Austronesia dari Jawa telah berhasil melakukan perjalanan yang lebih sulit ke arah Selatan dari Taiwan pada masa lebih awal).

Meskipun banyak penganut yang percaya bahwa peradaban Jepang berasal dari Korea dan menganggap hal ini adalah keterlaluan, pada faktanya didukung oleh lebih banyak bukti dibandingkan beradu hipotesis, dan bukti-bukti ini tak dapat diabaikan.

Riset ini membuka pencerahan baru pada perkembangan Jepang dan Jawa. Riset ini membuktikan peradaban Jawa pada kenyataannya lebih dan lebih orisinil (dibandingkan berasal dari India seperti yang biasa dikemukakan) daripada kenyataan yang ada sebelumnya. Riset ini juga menciptakan perspektif baru dalam hal melihat hubungan gender dalam peradaban yang berbeda, sejak peradaban khusus ini melihat wanita sebagai pengusung pemberian berharga seperti beras dan pakaian, dan dewa pelindung raja-raja. Akhirnya, riset ini juga membantu untuk menjelaskan ketahanan peradaban Jawa dalam menghadapi pengarus budaya luar dan penjajahan pihak asing.


Referensi
  • Kumar, Ann (1998) ‘An Indonesian Element in the Yayoi?: The evidence of Biological Anthropology’ in Anthropological Science, 106(3): 265-276; 
  • Kumar, Ann, and Rose, Phil (2000) ‘Lexical Evidence for Early Contact Between Indonesian Languages and Japanese’ in Oceanic Linguistics, 39(2): 219-255; 
  • Morinaga, T. (1968) ‘Origin and Geographical Distribution of Japanese Rice’ in Japan Agricultural Research Quarterly 3(2): 1-5; 
  • Whewell, William (1840) The philosophy of the inductive sciences, founded upon their history, London: J.W. Parker;

No comments:

Post a Comment