Responsive Ads Here

Wednesday, February 12, 2014

Keris, Budaya Adiluhung Nusantara

Di masa lalu, setiap pria Jawa terutama bangsawan dan priyayi, pada saat menjalankan tugasnya sehari-hari, selalu mengenakan busana tradisional lengkap dengan sebilah keris dipinggangnya. Setiap priyayi paling tidak memiliki dua buah, satu untuk dipakai harian, sedangkan yang lain untuk upacara resmi dan upacara di karaton. Tentu saja, keris yang kedua mempunyai kualitas dan penampilan yang lebih bagus.

Di zaman kuno, keris dipergunakan sebagai senjata untuk berperang ataupun untuk bertarung satu lawan satu. Pada saat ini, fungsi keris adalah untuk pelengkap busana tradisional. Namun demikian, keris tetap dihargai, diperlakukan dengan baik. Orang tradisional menghargai keris sebagai pusaka yang berharga dan barang seni yang bernilai tinggi. Keris dinilai berkualitas tinggi, kalau mempunyai penampilan fisik yang anggun dan punya daya spiritual yang bagus.

Orang Yang Sempurna
Menurut penilaian tradisional Jawa, seseorang telah dianggap sempurna kalau dia telah mempunyai lima hal, yaitu: Wismo, Wanito, Kukilo, Turonggo dan Curigo/Keris. Penjelasan singkatnya sebagai berikut :
Wismo artinya rumah. Orang yang telah mempunyai rumah tentunya penghasilannya cukup dan hidupnya mapan.
Wanito. Orang yang telah kawin dan punya istri ( demikian pula tentunya seorang wanita yang telah menikah), artinya telah memilih jalan hidup yang benar dan bertanggung jawab.
Kukilo artinya burung. Penjelasan filosofisnya adalah : nyanyian burung itu merdu bagai music atau alunan gamelan. Mendengar suara lembut, orang merasa tenang, enak, bahagia. Alangkah indahnya, bila seorang ayah,kepala keluarga berbicara dengan suara lembut ,itu tentu sangat menenangkan dan menyenangkan seluruh keluarga.
Turonggo artinya kuda. Kuda adalah alat trransportasi yang praktis dimasa lalu. Dia bisa dipakai menarik andong ataupun bisa ditunganggi untuk bepergian. Dalam hal ini, orang hendaknya memiliki kendaraan kehidupan ( mempunyai jalan hidup) yang bisa dengan baik dikendalikan supaya hidupnya mapan.
Curigo atau Keris. Keris itu tajam ujungnya. Ini melambangkan ketajaman pikir. Adalah sangat penting orang punya pikiran yang tajam dengan wawasan yang luas. Itu adalah urutan dimasa dulu. Kini, ada yang menyatakan bahwa urutan pertamanya adalah keris dengan alasan : otak yang cemerlang, intelligentsia adalah paling penting.

Asal Usul Keris & Teori2 Pendukungnya
Keris pada mulanya merupakan salah satu kelengkapan upacara ritual (wasi-wasi prakara), dimana keris menjadi bagian dalam upacara terhadap Dewi Sima yaitu dewi kesuburan. Pada masa itu keris merupakan visualisasi konsepsi lingga dan yoni. Seiring dengan perkembangan kebudayaan di Nusantara, keberadaan dan peran keris terus mengalami perkembangan, dimana awal mulanya sebagai kelengkapan upacara ritual keris merambah pada fungsi-fungsi yang lebih kompleks, sebagian keris menjadi diluhurkan dan diagungkan. Keris menjadi sarana penanda status sosial, keris berperan pula dalam perjalanan politik pemerintahan kerajaan waktu itu, keris sebagai benda keramat yang diagungkan, sebagai sarana religius, senjata perang, penanda angka tahun, benda berharga dan lain sebagainya.

Empu Keris
Pada umumya terutama di Jawa pembuat keris dikenal dengan sebutan Empu, di Bali dikenal dengan nama pande atau wangsa pandie, di Sunda dikenal dengan istilah Guru Teupa. David van Duuren dalam bukunya The Kris “Empu merupakan orang-orang yang dianggap suci dan memiliki kedudukan tinggi di masyarakat”(1998). Mas Ngabehi Wirasoekadga dalam bukunya Misteri Keris menuliskan Empu adalah mahluk/manusia yang memiliki derajat tinggi.

Ajaran pandie/empu awal mulanya berasal dari sekte Brahma, ialah sekte yang menempati urutan sangat penting diantara sekte-sekte lainya, pengikutnya bergelar brahmana pandie, pada zaman itu dikenal dengan wangsa brahmana pandie. Lebih jelasnya lagi di Jawa setelah agama Hindu jatuh ke tangan agama Islam, istilah brahmana tidak tampak lagi, tetapi wangsanya masih ada yang sekarang lazim disebut pandie besi, pandie mas, dll.

Di Bali, wangsa pandie diikat oleh kewajiban moril dan prasasti-prasasti wisama leluhur yang secara rohaniah berhubungan sangat erat antara keluarga satu dengan yang lainya dengan istilah wangsa, prasasti yang mengikat mereka yang paling terkenal disebut prasasti “Pustaka Bang Tawang”, mereka memiliki kesepakatan mengangkat empu Baradah sebagai gurunya. Di Bali ilmu kepandean tidak sembarangan orang bisa mempelajarinya karena hanya mereka yang keturunan wangsa pande yang boleh mempelajari, sedangkan di luar bali pandie hanya merupakan profesi saja dan siapapun boleh mempelajarinya dan mereka tidak diikat dalam satu sistem keluarga tertentu.

Empu merupakan seorang yang benar-benar ahli di bidangnya dan memiliki beberapa keahlian yang menunjang proses kreatif dalam penciptaan karya-karyanya. Adapun beberapa keahlian khusus yang dimiliki oleh seorang Empu untuk merujuk pada proses kreatifnya adalah :

1.Ahli dalam bidang agama dan spiritual
Pada masanya seorang Empu adalah orang yang dianggap suci dan memahami betul akan pemahaman kehidupan dan mampu memahami sesuatu yang gaib, seorang empu biasa memimpin upacara-upacara keagamaan ataupun upacara-upacara sesaji lainya. Empu merupakan panutan bagi masyarakat sekitarnya.

2.Ahli dalam bidang olah senjata
Ada ungkapan senjata yang baik adalah senjata yang dibuat oleh pendekar (ahli olah senjata) yang hebat. Jadi, kebanyakan para empu adalah seorang yang ahli “olah kanuragan” dalam memainkan senjata/pesilat/pendekar yang mahir. Dalam babad Bali diterangkan ketika patih Gajah Mada ingin menaklukan Bali, mahapatih Gajah Mada merangkul para empu/pande dan menempatkan di garis depan, Sang patih sangat yakin akan keberanian dan kehebatan olah senjata para empu keris/pande.

3.Ahli dalam bidang Psikologis
Seorang empu memiliki kemampuan memahami karakter psikologis dari pemesanya sehingga keris yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan watak, prilaku dan karakter dari pemakainya. Diceritakan dalam babad dan juga cerita-cerita rakyat bahwa para kesatria memesan keris pada seorang empu agar sesuai dengan dirinya.
Keris merupakan sebuah karya yang mampu berperan sebagai “Obyek ataupun Subyek” dari pemakainya. Keris dapat diperlalukan sebagaimana keinginan dari si pemilik seperti dipakai untuk senjata, kelengkapan busana, benda pamer, dll. Tetapi keris juga mempengaruhi sifat dan karakter pemiliknya sebagaimana keyakinan dari pemilik terhadap kekuatan dan atau bahasa simbol dari kerisnya.

4.Ahli Anatomi
Keahlianya di dalam olah senjata dengan sendirinya seorang empu ahli dalam anatomi manusia. Keahlian ini sebagai penunjang agar karya yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan “dedeg Piadek” atau ukuran badan si pemakainya, dengan demikian karya yang dihasilkan dapat diperankan sesui dengan pemakainya. Perlu diingat kembali bahwa semua hal yang berkaitan dengan ukuran tiap-tiap bagian keris menggunakan ukuran bagian badan seperti: “nyari, kilan, cengkang dll”.

5.Ahli dalam bidang politik
Pada masa majapahit oleh Gajah Mada empu diberi kedudukan tertentu dalam pemerintahan. Seorang empu banyak terlibat dalam percaturan politik dan terlibat didalam strategi kenegaraan dan perang.

Penghargaan khusus dari raja banyak diberikan kepada para empu keris yang mumpuni, mereka diberi kedudukan tinggi, lengkap dengan nama dan gelar kebangsawanan seperti Empu Supo yang disayang oleh raja karena berjasa mengembalikan Keris Sangkelat yang telah hilang dari keraton kemudian diangkat jadi menantu dan diberi gelar pangeran dengan hadiah tanah perdikan atau tanah bebas pajak.

6.Ahli dalam bidang Sastra
Seorang empu biasanya mempelajari sastra dan mereka adalah orang-orang yang terpelajar. Sebagian besar dari mereka terjalin hubungan baik dengan keraton sehingga mereka memperdalam sastra untuk interaksi mereka. Disamping itu mereka menganggap ajaran sastra merupakan salah satu untuk menambah pengetahuan dan kedalaman batin. Dalam ajaran “Aji Panca Bayu” yang dipelajari oleh para pandie di Bali, merupakan bagian ajaran Panca Brahma Pancak Sara yang berakar dari Aji Dasak Sara Pamurtining Aksara Anacaraka asal muasal Aji Saka, menerangkan: Aji Ngaran Sastra, Saka ngaran tiang ngaran pokok yang secara umum mengandung pengertian sumber dari ajaran Sastra Kesusastraan, dalam ajaran tersebut ada ungkapan;
” Sastra ngaran tastas ngaran terang Astra ngaran api ngaran sinar”
Yang secara umum mengandung pengertian, dengan mengenal api orang akan mengenal terang, sebaliknya orang yang tidak mengenal sastra sama dengan buta huruf berarti hidup dalam kegelapan.

7.Ahli dalam bidang Artistik
Bentuk dasar dari bilah keris terdiri dari bilah keris lurus, bilah keris luk dan bilah keris campuran antara luk dan lurus. Jumlah nama dari dapur bilah keris banyak sekali, Pujangga besar Ronggowarsito menyebut tak kurang dari 560 dapur keris. Rafles dalam bukunya “Histori Of Java” (1817) melukiskan 41 dapur keris utama yang ada pada abad ke-19.Buku tinggalan PB IX tentang dhapur keris (1792 Saka) menyebut 218 nama dapur keris.

Bila kita perbandingkan dengan senjata-senjata tradisional di seluruh dunia seperti tombak, pedang, panah, pisau, dll. Keris merupakan senjata tradisional yang paling banyak ragam farian bentuknya di samping juga yang paling rumit dari tiap-tiap bagiannya ( rerincikan bagian bilah keris lebih dari 30 bagian, pedang Katana dari Jepang sekitar 15 bagian, pedang Toledo dari Spanyol 10 bagian, Kukri dari Nepal 9 bagian)

Metode Penciptaan Keris
Seorang empu adalah seorang yang ahli dalam bidang seni, landasan dalam penciptaanya tidak lepas pada bahasa-bahasa simbol dari alam ataupun pada prilaku serta tatanan kehidupan pada masanya. Bila dikaji lebih dalam hasil karya seorang empu terutama keris, keris merupakan penyederhanaan bahasa ungkap dari sedemikian rumitnya bahasa kehidupan pada masa itu yang menyangkut tentang prilaku, agama, politik, cita-cita, teknologi dll. Bisa dikatakan keris ibarat Puisi, satu kata memiliki jutaan makna demikian pula satu rerincikan/bagian pada keris memiliki makna yang sangat dalam.

Dalam penciptaan keris seorang empu tidak semata-mata menekankan pada proses garapnya saja tetapi juga mendalami pengetahuan-pengetahuan lain yang menunjang akan keahlianya. Bila seorang empu hanya mendalami proses garap saja maka karyanya akan mentah dan hambar tetapi demikian pula tanpa produktif dalam proses garap karyanya akan kaku dan minim dari capaian karakter yang diinginkanya.

Seperti telah diungkapkan di muka bahwa seorang empu juga mendalami pengetahuan-pengetahuan lain terutama ajaran agama dan sastra, ajaran ini untuk mematangkan kedalaman jiwanya sehingga di dalam pencapaian ketenangan dapat berproses kreatif secara matang.

Seorang empu merupakan seorang yang mampu merangkum pemaknaan, maksud dan tujuan dari pembutan keris sehingga keris yang dihasilkan benar-benar sesuai dan bermanfaat bagi pemesannya/kalayak umum. Sang empu dalam menbuat karya sucinya melakukan sebuah “tapa laku” yang rumit dimana sang empu memadukan sang guru bakal (logam dari bumi ) dan sang guru dadi (sesuatu yang dari langit) kemudian dilebur menjadi sebuah keris yang ampuh. Dalam proses cipta karyanya seorang empu terus berdoa dan membaca mantra-mantra suci agar karya yang dihasilkan benar-benar baik dan sempurna. Konsepsi ini menunjukan keluhuran dalam penciptaan keris tidak dapat dilepaskan dari tingkat pemahaman spiritual religius Ketuhanan.

Adapun langkah-langkah proses pembuatan keris sebagai berikut:
• Pembuatan sesaji dan persiapan tapa laku yang dilakukan sang empu ataupun sang pemesan (penentuan saat pembuatan, dapur dan pamor keris)
• Penempaan, yaitu penyatuan beberapa unsur logam untuk membuat pola pamor hingga bentuk dasr bilah (bakalan)
• Pengerjaan ditai-ditail rerincikan bilah keris sehingga sehingga sesuai dengan dapur keris yang diinginkan.
• Sesaji penutupan, yaitu ungkapan rasa syukur karena keris yang dibuat telah selesai dan sesaui dengan yang diharapkan

Etika Penggunaan Keris
Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa keris merupakan suatu visualisasi dari simbol-simbol yang memiliki pemaknaan yang dalam dan rumit, simbol-simbol ini tidak hanya pada visualisasi bentuk kerisnya akan tetapi juga berkait dengan penggunaan atau cara pakai dari keris tersebut. Dalam mengenakan keris didasari pada status sosial, waktu, tempat, penggunaanya. Raja yang mengenakan keris akan berbeda dengan para rakyat biasa, mengenakan keris di dalam dan di luar kraton akan berbeda pula, apalagi acara resmi dan tidak resmi juga memilki tatacara mengenakan keris yang berbeda pula.

Dalam menyandang atau mengenakan keris sangat berbeda dengan ketika mengenakan senjata-senjata yang lain, keris memiliki tata cara khusus sehingga akan menambah keserasian berbusana/pakaian dan sesuai dengan acara yang akan dihadiri.

Dalam mengenakan atau memakai keris, menurut gaya Surakarta terdiri dari 12 cara, dan menurut kraton Jogjakarta terdiri dari 8 cara, masing-masing cara mengenakan keris tersebut di sesuaikan dengan siapa yang mengenakan, jenis acara, dan dimana mereka mengenakanya. Di beberapa daerah yang lain juga memiliki beberapa tata cara mengenakan keris yang berbeda-beda pula (termasuk Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Lombok dan lainya).

Adapun beberapa tata cara mengenakan keris versi Surakarta tersebut adalah: :
- Turut Bokong, yaitu yang dilakukan abdi dalem gandek ketika menyerahkan sesuatu pada yang berpangkat atau bangsawan
- Kureban, biasa dipakai para prajurit infantri yang memanggul senjata sambil mengenkan keris
- Kempitan tengan, cara memakai untuk melindungi kerisnya
- Kempitan kiwa untuk keadaan waspada di dalam suasana perang atau derah yang kurang aman
- Nganggar yaitu disandang di paha kiri, cara ini dilakukan bila seseorang ingin mengenkan keris lebih dari satu keris
- Ngogleng, yaitu dikenakan ketika sedang berjalan jongkok, cara menggunakan ngogleng ada tiga yaitu ngogleng, ngogleng tanggung, ngogleng methit
- Kewalan, dipakai pada saat menunggang kuda prajurit penunggang kuda
- Nyothe ngajeng, cara mengenakan para rohaniawan atau ulama
- Nyothe wingking, dilakukan para pembesar ketika sedang menunggang kuda
- Nyothe methit, dilakukan para petinggi keraton hendak duduk bersila menghadap raja

Adapun beberapa tata cara mengenakan keris versi Yogyakarta tersebut adalah:
- Klabang pipitan, cara mengenakan keris paling populer di Jogjakarta ketika sedang siaga, di surakarta disebut ngogleng
- Ngogleng, ketika seseorang ingin menonjolkan dirinya di depan umum, di Solo disebut ngogleng methit
- Lele Sinundukan atau satriyo keplayu, cara ini dilakukan ketika melalukan aktivitas yang membutuhkan banyak gerak
- Munyuk Ngilo, dikenakan para pengelana
- Mangking, dilakukan ketika sedang naik kuda
- Netep, dikenakan dalam posisi berdiri dan melakukan banyak aktivitas
- Nyothe kiwa, dilakukan pada saat siaga atau genting di Solo dikenal dengan nama kempitan kiwa
- Kewalan, dilakukan oleh para parajurit yang bersenjatakan pedang dan para penari kelana
- Nganggar, dilakukan para prajurit yang membawa senjata sambil mengenakan keris

Keris sebagai hasil budaya Nusantara yang Adi luhung telah berlangsung dalam rentang waktu yang demikian panjang, peran dan fungsinya telah merambah pada konfleksitas kehidupan masyarakat Nusantara. Tingkat kebudayaan masyarakat Nusantara dapat dilihat secara jelas melalui salah satu hasil budayanya yaitu keris. Melalu keris dapat dipahami sejauh mana tingkat kebudayaan, teknologi, strata sosial, politik, seni, pemahaman akan spiritualis dan agama serta sendi-sendi kemasyarakatanya yang lain.

Sebagai sebuah hasil budaya yang tinggi keris memiliki simbol-simbol yang rumit, tata cara mengenakan yang unik dan bervareasi dimana menunjukan kebesaran dan keragaman kebudayaan yang demikian teliti dan tinggi. Keris merupakan salah satu sarana pemahaman hubungan manusia dan Tuhannya, ungkapan “Curigo Manjing Warangka Jumbuhing Kawula Lan Gusti” merupakan ungkapan yang dalam mengenai hubungan religius masyarakat Nusantara yang demikian mendalam.

Proses yang rumit, pengerjaan yang membutuhkan konsentrasi yang tinggi, penghayatan dan keyakinan yang dalam bagi si pemilik, perang yang demikian kompleks dalam masyarakat merupakan sebuah hasil cipta karya yang demikian mengagumkan, hasil budaya yang mulai memudar dan kehilangan batang untuk bersemi ini sudah waktunya untuk dilestarikan dan ditumbuh-kembangkan kembali sehingga ungkapan “Wong Jowo Lali Jawane” tidak akan terjadi.
Keris dan tosan aji serta senjata tradisional lainnya menjadi khasanah budaya Indonesia, tentunya setelah nenek moyang kita mengenal besi. Berbagai bangunan candi batu yang dibangun pada zaman sebelum abad ke-10 membuktikan bahwa bangsa Indonesia pada waktu itu telah mengenal peralatan besi yang cukup bagus, sehingga mereka dapat menciptakan karya seni pahat yang bernilai tinggi. Namun apakah ketika itu bangsa Indonesia mengenal budaya keris sebagaimana yang kita kenal sekarang, para ahli baru dapat meraba-raba.Gambar timbul (relief) paling kuno yang memperlihatkan peralatan besi terdapat pada prasasti batu yang ditemukan di Desa Dakuwu, di daerah Grabag, Magelang, Jawa Tengah. Melihat bentuk tulisannya, diperkirakan prasasti tersebut dibuat pada sekitar tahun 500 Masehi. Huruf yang digunakan, huruf Pallawa. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Sanskerta.Prasasti itu menyebutkan tentang adanya sebuah mata air yang bersih dan jernih. Di atas tulisan prasasti itu ada beberapa gambar, di antaranya: trisula, kapak, sabit kudi, dan belati atau pisau yang bentuknya amat mirip dengan keris buatan Nyi Sombro, seorang empu wanita dari zaman Pajajaran. Ada pula terlukis kendi, kalasangka, dan bunga teratai.Kendi, dalam filosofi Jawa Kuno adalah lambang ilmu pengetahuan, kalasangka melambangkan keabadian, sedangkan bunga teratai lambang harmoni dengan alam.

Beberapa Teori
Sudah banyak ahli kebudayaan yang membahas tentang sejarah keberadaan dan perkembangan keris dan tosan aji lainnya. G.B. GARDNER pada tahun 1936 pernah berteori bahwa keris adalah perkembangan bentuk dari senjata tikam zaman prasejarah, yaitu tulang ekor atau sengat ikan pari dihilangkan pangkalnya, kemudian dibalut dengan kain pada tangkainya. Dengan begitu senjata itu dapat digenggam dan dibawa-bawa. Maka jadilah sebuah senjata tikam yang berbahaya, menurut ukuran kala itu.
Sementara itu GRIFFITH WILKENS pada tahun 1937 berpendapat bahwa budaya keris baru timbul pada abad ke-14 dan 15. Katanya, bentuk keris merupakan pertumbuhan dari bentuk tombak yang banyak digunakan oleh bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan antara Asia dan Australia. Dari mata lembing itulah kelak timbul jenis senjata pendek atau senjata tikam, yang kemudian dikenal dengan nama keris. Alasan lainnya, lembing atau tombak yang tangkainya panjang, tidak mudah dibawa kemana-mana. Sukar dibawa menyusup masuk hutan. Karena pada waktu itu tidak mudah orang mendapatkan bahan besi, maka mata tombak dilepas dari tangkainya sehingga menjadi senjata genggam.

Lain lagi pendapat A.J. BARNET KEMPERS. Pada tahun 1954 ahli purbakala itu menduga bentuk prototipe keris merupakan perkembangan bentuk dari senjata penusuk pada zaman perunggu. Keris yang hulunya berbentuk patung kecil yang menggambarkan manusia dan menyatu dengan bilahnya, oleh Barnet Kempers bukan dianggap sebagai barang yang luar biasa. Katanya, senjata tikam dari kebudayaan perunggu Dong-son juga berbentuk mirip itu. Hulunya merupakan patung kecil yang menggambarkan manusia sedang berdiri sambil berkacak pinggang (malang-kerik, bahasa Jawa). Sedangkan senjata tikam kuno yang pernah ditemukan di Kalimantan, pada bagian hulunya juga distilir dari bentuk orang berkacak pinggang.Perkembangan bentuk dasar senjata tikam itu dapat dibandingkan dengan perkembangan bentuk senjata di Eropa. Di benua itu, dulu, pedang juga distilir dari bentuk manusia dengan kedua tangan terentang lurus ke samping. Bentuk hulu pedang itu, setelah menyebarnya agama Kristen, kemudian dikembangkan menjadi bentuk yang serupa salib.
Dalam kaitannya dengan bentuk keris di Indonesia, hulu keris yang berbentuk manusia (yang distilir), ada yang berdiri, ada yang membungkuk, dan ada pula yang berjongkok, Bentuk ini serupa dengan patung megalitik yang ditemukan di Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dalam perkembangan kemudian, bentuk-bentuk itu makin distilir lagi dan kini menjadi bentuk hulu keris (Di Pulau Jawa disebut deder, jejeran, atau ukiran) dengan ragam hias cecek, patra gandul, patra ageng, umpak-umpak, dlsb.

Dalam sejarah budaya kita, patung atau arca orang berdiri dengan agak membungkuk, oleh sebagian ahli, diartikan sebagai lambang orang mati. Sedangkan patung yang menggambarkan manusia dengan sikap sedang jongkok dengan kaki ditekuk, dianggap melambangkan kelahiran, persalinan, kesuburan, atau kehidupan. Sama dengan sikap bayi atau janin dalam kandungan ibunya.Ada sebgian ahli bangsa Barat yang tidak yakin bahwa keris sudah dibuat di Indonesia sebelum abad ke-14 atau 15. Mereka mendasarkan teorinya pada kenyataan bahwa tidak ada gambar yang jelas pada relief candi-candi yang dibangun sebelum abad ke-10. SIR THOMAS STAMFORD RAFFLES dalam bukunya History of Java (1817) mengatakan, tidak kurang dari 30 jenis senjata yang dimiliki dan digunakan prajurit Jawa waktu itu, termasuk juga senjata api. Tetapi dari aneka ragam senjata itu, keris menempati kedudukan yang istimewa.Disebutkan dalam bukunya itu, prajurit Jawa pada umumnya menyandang tiga buah keris sekaligus. Keris yang dikenakan di pinggang sebelah kiri, berasal dari pemberian mertua waktu pernikahan (dalam budaya Jawa disebut kancing gelung). Keris yang dikenakan di pinggang kanan, berasal dari pemberian orang tuanya sendiri. Selain itu berbagai tata cara dan etika dalam dunia perkerisan juga termuat dalam buku Raffles itu. Sayangnya dalam buku yang terkenal itu, penguasa Inggris itu tidak menyebut-nyebut tentang sejarah dan asal usul budaya keris.
Sementara itu istilah ‘keris’ sudah dijumpai pada beberapa prasasti kuno. Lempengan perunggu bertulis yang ditemukan di Karangtengah, berangka tahun 748 Saka, atau 842 Masehi, menyebut-nyebut beberapa jenis sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas pajak, sesaji itu antara lain berupa ‘kres’, wangkiul, tewek punukan, wesi penghatap.Kres yang dimaksudkan pada kedua prasasti itu adalah keris. Sedangkan wangkiul adalah sejenis tombak, tewek punukan adalah senjata bermata dua, semacam dwisula.

Pada lukisan gambar timbul (relief) Candi Borobudur, Jawa Tengah, di sudut bawah bagian tenggara, tergambar beberapa orang prajurit membawa senjata tajam yang serupa dengan keris yang kita kenal sekarang. Di Candi Prambanan, Jawa Tengah, juga tergambar pada reliefnya, raksasa membawa senjata tikam yang serupa benar dengan keris. Di Candi Sewu, dekat Candi Prambanan, juga ada. Arca raksasa penjaga, menyelipkan sebilah senjata tajam, mirip keris.Sementara itu edisi pertama dan kedua yang disusun oleh Prof. P.A VAN DER LITH menyebutkan, sewaktu stupa induk Candi Borobudur, yang dibangun tahun 875 Masehi, itu dibongkar, ditemukan sebilah keris tua. Keris itu menyatu antara bilah dan hulunya. Tetapi bentuk keris itu tidak serupa dengan bentuk keris yang tergambar pada relief candi. Keris temuan ini kini tersimpan di Museum Ethnografi, Leiden, Belanda. Keterangan mengenai keris temuan itu ditulis oleh Dr. H.H. JUYNBOHL dalam Katalog Kerajaan (Belanda) jilid V, Tahun 1909. Di katalog itu dikatakan, keris itu tergolong ‘keris Majapahit‘, hulunya berbentuk patung orang, bilahnya sangat tua. Salah satu sisi bilah telah rusak. Keris, yang diberi nomor seri 1834, itu adalah pemberian G.J. HEYLIGERS, sekretaris kantor Residen Kedu, pada bulan Oktober 1845. Yang menjadi residennya pada waktu itu adalah Hartman. Ukuran panjang bilah keris temuan itu 28.3 cm, panjang hulunya 20,2 cm, dan lebarnya 4,8 cm. Bentuknya lurus, tidak memakai luk.

Mengenai keris ini, banyak yang menyangsikan apakah sejak awalnya memang telah diletakkan di tengah lubang stupa induk Candi Borobudur. Barnet Kempres sendiri menduga keris itu diletakkan oleh seseorang pada masa-masa kemudian, jauh hari setelah Candi Borobudur selesai dibangun. Jadi bukan pada waktu pembangunannya.

Ada pula yang menduga, budaya keris sudah berkembang sejak menjelang tahun 1.000 Masehi. Pendapat ini didasarkan atas laporan seeorang musafir Cina pada tahun 922 Masehi. Jadi laporan itu dibuat kira-kira zaman Kahuripan berkembang di tepian Kali Brantas, Jawa Timur. Menurut laporan itu, ada seseorang Maharaja Jawa menghadiahkan kepada Kaisar Tiongkok "a short swords with hilts of rhinoceros horn or gold (pedang pendek dengan hulu terbuat dari dari cula badak atau emas). Bisa jadi pedang pendek yang dimaksuddalam laporan itu adalah protoptipe keris seperti yang tergambar pada relief Candi Borobudur dan Prambanan.
Sebilah keris yang ditandai dengan angka tahun pada bilahnya, dimiliki oleh seorang Belanda bernama Knaud di Batavia (pada zaman Belanda dulu). Pada bilah keris itu selain terdapat gamabar timbul wayang, juga berangka tahun Saka 1264, atau 1324 Masehi. Jadi kira-kira sezaman dengan saat pembangunan Candi Penataran di dekat kota Blitar, Jawa Timur. Pada candi ini memang terdapat patung raksasa Kala yang menyandang keris pendek lurus.
Gambar yang jelas mengenai keris dijumpai pada sebuah patung siwa yang berasal dari zaman Kerajaan Singasari, pada abad ke-14. Digambarkan dengan Dewa Siwa sedang memegang keris panjang di tangan kanannya. Jelasini bukan tiruan patung Dewa Siwa dari India, karena di India tak pernah ditemui adanya patung Siwa memegang keris. Patung itu kini tersimpan di Museum Leiden, Belanda.

Pada zaman-zaman berikutnya, makin banyak candi yang dibangun di Jawa Timur, yang memiliki gambaran keris pada dinding reliefnya. Misalnya pada Candi Jago atau Candi Jajagu, yang dibangun tahun 1268 Masehi. Di candi itu terdapat relief yang menggambarkan Pandawa (tokoh wayang) sedang bermain dadu. Punakawan yang terlukis di belakangnya digambarkan sedang membawa keris. Begitu pula pada candi yang terdapat di Tegalwangi, Pare, dekat Kediri, dan Candi Panataran. Pada kedua candi itu tergambar relief tokoh-tokoh yang memegang keris.
Cerita mengenai keris yang lebih jelas dapat dibaca dari laporan seorang musafir Cina bernama Ma Huan. Dalam laporannya Yingyai Sheng-lan di tahun 1416 Masehi ia menuliskan pengalamannya sewaktu mengunjungi Kerajaan Majapahit.

Ketika itu ia datang bersama rombongan Laksamana Cheng-ho atas perintah Kaisar Yen Tsung dari dinasti Ming. Di Majapahit, Ma Huan menyaksikan bahwa hampir semua lelaki di negeri itu memakai pulak, sejak masih kanak-kanak, bahkan sejak berumur tiga tahun. Yang disebut pulak oleh Ma Huan adalah semacam belati lurus atau berkelok-kelok. Jelas ayang dimaksud adalah keris.Kata Ma Huan dalam laoparan itu: These daggers have very thin stripes and within flowers and made of very best steel; the handle is of gold, rhinoceros, or ivory, cut into the shapeof human or devil faces and finished carefully.

Laporan ini membuktikan bahwa pada zaman itu telah dikenal teknik pembuatan senjata tikam dengan hiasan pamor dengan gambaran garis-garis amat tipis serta bunga-bunga keputihan. Senjata ini dibuat dengan baja berkualitas prima. Pegangannya, atau hulunya, terbuat dari emas, cula badak, atau gading.Tak pelak lagi, tentunya yang dimaksudkan Ma Huan dalam laporannya adalah keris yang kita kenal sekarang ini.

Gambar timbul mengenai cara pembuatan keris, dapat disaksikan di Candi Sukuh, di lereng Gunung Lawu, di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada candra sengkala memet di candi itu, terbaca angka tahun 1316 Saka atau 1439 Masehi.

Cara pembuatan keris yang digambarkan di candi itu tidak jauh berbeda dengan cara pembuatan keris keris pada zaman sekarang. Baik peralatan kerja, palu dan ububan, maupun hasil karyanya berupa keris, tombak, kudi, dll.
Dengan ilmu tangguh , kita dapat mengenali nama-nama para Empu dan hasil karyanya yang berupa bilahan-bilahan keris, pedang, tombak, dan lain-lainnya.

Pertama-tama yang harus kita ketahui adalah tahapan zaman terlahirnya ‘keris’ itu, kemudian meneliti bahan keris, dan ciri khas sistem pembuatan keris. Ilmu untuk kepentingan itu dinamakan ‘Tangguh’.
Dengan ilmu tangguh , kita dapat mengenali nama-nama para Empu dan hasil karyanya yang berupa bilahan-bilahan keris, pedang, tombak, dan lain-lainnya.
Adapun pembagian tahapan-tahapan zaman itu adalah sebagai berikut:
1. Kuno
(Budho) tahun 125 M – 1125 M
meliputi kerajaan-kerajaan: Purwacarita, Medang Siwanda, medang Kamulan, Tulisan, Gilingwesi, Mamenang, Penggiling Wiraradya, Kahuripan dan Kediri.

2. Madyo Kuno
(Kuno Pertengahan) tahun 1126 M – 1250 M.
Meliputi kerajaan-kerajaan : Jenggala, Kediri, Pajajaran dan Cirebon.

3. Sepuh Tengah
(Tua Pertengahan) tahun 1251 M – 1459 M
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Jenggala, Kediri, Tuban, Madura, Majapahit dan Blambangan.

4. Tengahan
(Pertengahan) tahun 1460 M – 1613 M
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Demak, Pajang, Madiun, dan Mataram

5. Nom
(Muda) tahun 1614 M. Sampai sekarang
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Kartasura dan Surakarta.
Telah kami ketengahkan tahapan-tahapan zaman Kerajaan yang mempunyai hubungan langsung dengan tahapan zaman Perkerisan, dengan demikian pada setiap zaman kerajaan itu terdapat beberapa orang EMPU yang bertugas untuk menciptakan keris.
Keris-keris ciptaan Empu itu setiap zaman mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Sehingga para Pendata benda pusaka itu tidak kebingungan.
Ciri khas terletak pada segi garap dan kwalitas besinya. Kwalitas besi merupakan ciri khas yang paling menonjol, sesuai dengan tingkat sistem pengolahan besi pada zaman itu, juga penggunaan bahan ‘Pamor’ yang mempunyai tahapan-tahapan pula. Bahan pamor yang mula-mula dipergunakan batu ‘meteor atau batu bintang’ yang dihancurkan dengan menumbuknya hingga seperti tepung kemudian kita mengenali titanium semacam besi warnanya keputihan seperti perak, besi titanium dipergunakan pula sebagai bahan pamor.
Titanium mempunyai sifat keras dan tidak dapat berkarat, sehingga baik sekali untuk bahan pamor. Sesuai dengan asalnya di Prambanan maka pamor tersebut dinamakan pamor Prambanan.
Keris dengan pamor Prambanan dapat dipastikan bahwa keris tersebut termasuk bertangguh Nom. Karena diketemukannya bahan pamor Prambanan itu pada jaman Kerajaan Mataram Kartasura (1680-1744). Bila kita telah mengetahui tangguhnya suatu keris maka kita lanjutkan dengan menelusuri Empu-Empu penciptanya.
I.Zaman Tangguh Budho (Kuno) :
1. Zaman Kerajaan Purwacarita, Empunya adalah: Mpu Hyang Ramadi,
Mpu Iskadi, Mpu Sugati, Mpu Mayang, dan Mpu Sarpadewa.
2. Zaman Kerajaan Tulis, Empunya adalah: Mpu Sukmahadi.
3. Zaman Kerajaan Medang Kamulan, Empunya adalah: Mpu Bramakedali.
4. Zaman Kerajaan Giling Wesi, Empunya adalah: MpuSaptagati dan Mpu Janggita.
5. Zaman Kerajaan Wirotho, Empunya adalah Mpu Dewayasa I.
6. Zaman Kerajaan Mamenang, Empunya adalah: Mpu Ramayadi.
7. Zaman Kerajaan Pengging Wiraradya, Empunya adalah Mpu Gandawisesa, Mpu wareng dan Mpu Gandawijaya.
8. Zaman Kerajaan Jenggala, Empunya adalah: Mpu Widusarpa dan Mpu Windudibya.
II. Tangguh Madya Kuno (Kuno Pertengahan)
1. Zaman Kerajaan Pajajaran Makukuhan, Empunya adalah: Mpu Srikanekaputra, Mpu Welang, Mpu Cindeamoh, Mpu Handayasangkala, Mpu Dewayani, Mpu Anjani, Mpu Marcu kunda, Mpu Gobang, Mpu Kuwung, Mpu Bayuaji, Mpu Damar jati, Mpuni Sumbro, dan Mpu Anjani.
III.Tangguh Sepuh Tengahan (Tua Pertengahan)
1. Zaman Kerajaan Jenggala, Empunya adalah Mpu Sutapasana.
2. Zaman Kerajaan Kediri, Empunya adalah :
3. Zaman Kerajaan Majapahit, Empunya adalah:
4. Zaman Tuban/Kerajaan Majapahit, Empunya adalah: Mpu Kuwung, Mpu Salahito, Mpu Patuguluh, Mpu Demangan, Mpu Dewarasajati, dan Mpu Bekeljati.
5. Zaman Madura/Kerajaan Majapahit, Empunya adalah: Mpu Sriloka, Mpu Kaloka, Mpu Kisa, Mpu Akasa, Mpu Lunglungan dan Mpu Kebolungan.
6. Zaman Blambangan/Kerajaan Majapahit, Empunya adalah: Mpu Bromokendali, Mpu Luwuk, Mpu Kekep, dam Mpu Pitrang.
IV. Tangguh Tengahan (Pertengahan)
1. Zaman Kerajaan Demak, Empunya adalah: Mpu Joko Supo.
2. Zaman Kerajaan Pajang, Empunya adalah Mpu Omyang, Mpu Loo Bang, Mpu Loo Ning, Mpu Cantoka, dan Japan.
3. Zaman Kerajaan Mataram, Empunya adalah: Mpu Tundung, Mpu Setrobanyu, Mpu Loo Ning, Mpu Tunggulmaya, Mpu Teposono, Mpu Kithing, Mpu Warih Anom dan Mpu Madrim.
V.Tangguh Nom (Muda)
1. Zaman Kerajaan Kartasura, Empunya adalah: Mpu Luyung I, Mpu Kasub, Mpu Luyung II, Mpu Hastronoyo, Mpu Sendang Warih, Mpu Truwongso, Mpu Luluguno, Mpu Brojoguno I, dan Mpu Brojoguno II.
2. Zaman Kerajaan/Kasunanan Surakarta, Empunya : Mpu Brojosentiko, Mpu Mangunmalelo, Mpu R.Ng. Karyosukadgo, Mpu Brojokaryo, Mpu Brojoguno III, Mpu Tirtodongso, Mpu Sutowongso, Mpu Japan I, Mpu Japan II, Mpu Singosijoyo, Mpu Jopomontro, Mpu Joyosukadgo, Mpu Montrowijoyo, Mpu Karyosukadgo I, Mpu Wirosukadgo, Mpu Karyosukadgo II, dan Mpu Karyosukadgo III.

Dibawah ini ciri-ciri sebuah keris dan tangguhnya :
Jenggala
Ganja Pendek, Wadidangnya tegak, ada-ada seperti punggung sapi, besi padat-halus dan hitam pekat, pamor seperti rambut putih dan sogokan tanpa pamor.

Pajajaran
Ganja Ambatok mengkurep berbulu lembut sirah cecak panjang, besi berserat dan kering, potongan bilah ramping, pamor seperti lemak / gajih, blumbangan atau pejetan lebar, sogokan agak lebar dan pendek.

Majapahit
Potongan bilah agak kecil/ramping, ganja sebit rontal kecil luwes, sirah cecak pendek dan meruncing, odo-odo tajam, besi berat dan hitam. Pamor ngrambut berserat panjang-panjang. Pasikutan keris Wingit.

Tuban
Ganja berbentuk tinggi – berbulu, sirah cecak tumpul, pamor menyebar, potongan bilah cembung dan lebar.
Bali
Ukuran bilah besar dan panjang, lebih besar dari ukuran keris jawa, besi berkilau, pamor besar halus dan berkilau.

Madura Tua

Besi kasar dan berat, sekar kacang tumpul dan pamor besar-besar / agal
Mataram Awal (Senopaten)
Bentuk ganja seperti cecak menangkap mangsa, sogokan berpamor penuh, sekar kacang seperti gelung wayang, pamor tampak kokoh, dan atas puyuan timbul/menyembul (ujung sogokan)

Mataram Kartosura
Besi agak kasar, bila ditimang agak berat, bilah lebih gemuk, ganja berkepala cicak yang meruncing

Mataram Surakarta
Bilah seperti daun singkong, besi halus, pamor menyebar, puyuan meruncing, gulu meled pada ganja pendek, odo-odo dan bagian lainnya tampak manis dan luwes.

Mataram Yogyakarta
Ganja menggantung, besi halus dan berat, pamor menyebar penuh keseluruh bagian bilah.
Guurrr ….. warna besinya hijau metalik, nama besinya Karindu Aji, manfaatnya untuk kewibawaan, cepat kaya dan posisinya baik.

Guunggg …… warna besi ungu kebiruan, nama besinya Walulin, manfaatnya badan sehat, dihormati orang, mudah menyelesaikan masalah.

Duuungg ….. warna besinya biru bening, nama besinya Windu Aji, manfaatnya untuk keselamatan.

Nonggg …….warna besinya kuning kehijauan, nama besinya Walangi, manfaatnya lancar dalam sandang pangan, pengasihan dan bagus untuk karier simpan pinjam.

Preng ……. warna besinya putih kebiruan, nama besinya Melelaruyun, manfaatnya untuk kedigjayaan atau kekuatan.

Nong-ngong …… warna besinya hitam legam, nama besinya Warani, manfaatnya bisa mencapai derajat tinggi, kaya raya dan selalu sukses dalam menjalankan pemerintahan.

Berdengung …… warna besinya hitam lumut, nama besinya Terate, manfaatnya untuk pengasihan.

Tuuuunggg ……. Warna besinya putih mentah, nama besinya Malelagedaga, manfaatnya sabar, dan selalu dikasihani.

Trungg …. Warna besinya putih mentah, nama besinya Kanthot, manfaatnya untuk ketentraman keluarga.

Anatomi keris atau ricikan keris
1. Ron Dha, yaitu ornamen pada huruf Jawa Dha.
2. Sraweyan, yaitu dataran yang merendah di belakang sogogwi, di atas ganja.
3. Bungkul, bentuknya seperti bawang, terletak di tengah-tengah dasar bilah dan di atas ga~qa.
4. Pejetan, bentuknya seperti bekas pijatan ibu jari yang terletak di belakang gandik.
5. Lambe Gajah, bentuknya menyerupai bibir gajah. Ada yang rangkap dan Ietaknya menempel pada gandik.
6. Gandik, berbentuk penebalan agak bulat yang memanjang dan terletak di atas sirah cecak atau ujung ganja.
7. Kembang Kacang, menyerupai belalai gajah dan terletak di gandik bagian atas.
8. Jalen, menyerupai taji ayam jago yang menempel di gandik.
9. Greneng, yaitu ornamen berbentuk huruf Jawa Dha ( ) yang berderet.
10. Tikel Alis, terletak di atas pejetan dan bentuknya rnirip alis mata.
11. Janur, bentuk lingir di antara dua sogokan.
12. Sogokan depan, bentuk alur dan merupakan kepanjangan dari pejetan.
13. Sogokan belakang, bentuk alur yang terletak pada bagian belakang.
14. Pudhak sategal, yaitu sepasang bentuk menajam yang keluar dari bilah bagian kiri dan kanan.
15. Poyuhan, bentuk yang menebal di ujung sogokan.
16. Landep, yaitu bagian yang tajam pada bilah keris.
17. Gusen, terletak di be!akang landep, bentuknya memanjang dari sor-soran sampai pucuk.
18. Gula Milir, bentuk yang meninggi di antara gusen dan kruwingan.
19. Kruwingan, dataran yang terietak di kiri dan kanan adha-adha.
20. Adha-adha, penebalan pada pertengahan bilah dari bawah sampal ke atas.

Kekuatan Simbolik Keris Terletak pada "Pamor"
Keris tidak dapat terpisahkan dengan peradaban Jawa. Dalam pandangan masyarakat Jawa, keris atau curiga merupakan salah satu pusaka kelengkapan budaya. Kekuatan simbolik keris dipercayai masyarakat Jawa terletak pada pamor, yaitu bahan campuran pembuatan keris berupa besi meteor. Jenis bahan ini mengandung unsur besi dan nikel.
"Pamor adalah benda berasal dari angkasa. Di antara besi pamor terkenal adalah 'pamor Prambanan'. Disebut demikian karena meteor ini jatuh di daerah Prambanan sekitar tahun 1784 di masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana III di Surakarta," demikian kata Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Timbul Haryono MSc dalam pidato pengukuhannya di depan Rapat Senat Terbuka UGM, Sabtu (27/4). Dosen Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya dan Pascasarjana UGM itu membawakan pidato berjudul "Logam dan Peradaban Manusia dalam Perspektif Historis- Arkeologis".
Dikatakan Timbul, pamor tersebut sampai sekarang masih disimpan di Keraton Surakarta dan diberi nama Kiai Pamor. Penelitian laboratoris terhadap meteor itu menunjukkan kandungan unsurnya adalah 94,5 persen besi dan 5 persen nikel. Jenis batu pamor lainnya adalah pamor Luwu yang asalnya dari Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Berdasarkan bahan pembuatan keris, proses pembuatan keris peradaban Jawa secara simbolik identik dengan konsep persatuan "bapa akasa-ibu pertiwi". Bahan besi diperoleh dari perut Bumi (Ibu Pertiwi) dan bahan pamor adalah meteor jatuh dari angkasa (bapa akasa). Keduanya kemudian disatukan menjadi senjata keris

MAKNA DESIGN KERIS
PULANG GENI
merupakan salah satu dapur keris yang populer dan banyak dikenal karena memiliki padan nama dengan pusaka Arjuna. Pulang Geni bermakna Ratus atau Dupa atau juga Kemenyan. Bahwa manusia hidup harus berusaha memiliki nama harum dengan berperilaku yang baik, suka tolong menolong dan mengisi hidupnya dengan hal-hal atau aktifitas yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Dengan berkelakuan yang baik dan selalu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak, tentu namanya akan selalu dikenang walaupun orang tersebut sudah meninggal. Oleh karena itu, Keris dapur Pulang Geni umumnya banyak dimiliki oleh para pahlawan atau pejuang.
KIDANG SOKA
memiliki makna Kijang yang berduka. Bahwa hidup manusia akan selalu ada Duka, tetapi manusia diingatkan agar tidak terlalu larut dalam duka yang dialaminya. Kehidupan masih terus berjalan dan harus terus dilalui dengan semangat hidup yang tinggi. Keris ini memang memiliki ciri garap sebagaimana keris tangguh Majapahit. Tetapi melihat pada penerapan pamor serta besinya, tidak masuk dikategorikan sebagai keris yang dibuat pada jaman Majapahit. Oleh karena itu, dalam pengistilahan perkerisan dikatakan sebagai keris Putran atau Yasan yang diperkirakan dibuat pada jaman Mataram. Kembang Kacang Pogog semacam ini umumnya disebut Ngirung Buto.
SABUK INTEN
merupakan salah satu dapur keris yang melambangkan kemakmuran dan atau kemewahan. Dari aspek filosofi, dapur Sabuk Inten melambangkan kemegahan dan kemewahan yang dimiliki oleh para pemilik modal, pengusaha atau pedagang pada jaman dahulu. Keris Sabuk Inten ini menjadi terkenal, selain karena legendanya, juga karena adanya cerita silat yang sangat populer berjudul Naga Sasra Sabuk Inten karangan Sabuk Inten karangan S.H. Mintardja pada tahun 1970-an.
NAGA SASRA adalah salah satu nama Dapur Keris Luk 13 dengan Gandik berbentuk kepala Naga yang badannya menjulur mengikuti sampai ke hampir pucuk bilah. Salah satu Dapur Keris yang paling terkenal walaupun jarang sekali dijumpai adanya keris Naga Sasra Tangguh tua. Umumnya keris dapur Naga Sasra dihiasi dengan kinatah emas sehingga penampilannya terkesan indah dan lebih berwibawa. Keris ini memiliki gaya seperti umumnya keris Mataram Senopaten yang bentuk bilahnya ramping seperti keris Majapahit, tetapi besi dan penerapan pamor serta gaya pada wadidhangnya menunjukkan ciri Mataram Senopaten. Sepertinya berasal dari era Majapahit akhir atau bisa juga awal era Mataram Senopaten (akhir abad ke 15 sampai
awal abad ke 16). Keris ini dulunya memiliki kinatah Kamarogan yang karena perjalanan waktu, akhirnya kinatah emas tersebut hilang terkelupas. Tetapi secara keseluruhan, terutama bilah masih bisa dikatakan utuh. Keris Dapur Naga Sasra berarti Ular yang jumlahnya seribu (beribu-ribu) dan juga dikenal sebagai keris dapur Sisik Sewu. Dalam budaya Jawa, Naga diibaratkan sebagai Penjaga. Oleh karena itu banyak kita temui pada pintu sebuah Candi ataupun hiasan lainnya yang dibuat pada jaman dahulu. Selain Penjaga, Naga juga diibaratkan memiliki wibawa yang tinggi. Oleh karena itu, Keris dengan dapur Naga Sasra memiliki nilai yang lebih tinggi daripada keris lainnya.
SENGKELAT
adalah salah satu keris dari jaman Mataram Sultan Agung (sekitar awal abad ke 17). Dapur Keris ini adalah Sengkelat. Pamor keris sangat rapat, padat dan halus. Ukuran lebar bilah lebih lebar dari keris Majapahit, tetapi lebih ramping daripada keris Mataram era Sultan Agung pada umumnya. Panjang bilah 38 Cm, yang berarti lebih panjang dari Keris Sengkelat Tangguh Mataram Sultan Agung umumnya. Bentuk Luk nya lebih rengkol dan dalam dari pada keris era Sultan Agung pada umumnya. Gonjo yang digunakan adalah Gonjo Wulung (tanpa pamor) dengan bentuk Sirah Cecak runcing dan panjang dengan buntut urang yang nguceng mati. Kembang Kacang Nggelung Wayang. Jalennya pendek dengan Lambe Gajah yang lebih
panjang dari Jalen. Sogokan tidak terlalu dalam dengan Janur yang tipis tetapi tegas sampai ke pangkal bilah. Wrangka keris ini menggunakan gaya Surakarta yang terbuat dari Kayu Cendana.
RAGA PASUNG, atau Rangga Pasung memiliki makna sesuatu yang dijadikan sebagai Upeti. Dalam hidup di dunia, sesungguhnya hidup dan diri manusia ini telah diupetikan kepada Tuhan YME. Dalam arti bahwa hidup manusia ini sesungguhnya telah diperuntukkan untuk beribadah, menyembah kepada Tuhan YME. Dan karena itu kita manusia harus ingat bahwa segala sesuatu yang kita miliki di dunia ini sesungguhnya semu dan kesemuanya adalah milik Tuhan YME.
BETHOK BROJOL
adalah keris dari tangguh Tua juga. Keris semacam ini umumnya ditemui pada tangguh Tua seperti Kediri/Singosari atau Majapahit. Dikatakan Bethok Brojol karena bentuknya yang pendek dan sederhana tanpa ricikan kecuali Pijetan sepeti keris dapur Brojol.
PUTHUT KEMBAR, oleh banyak kalangan awam disebut sebagai Keris Umphyang. Padahal sesungguhnya Umphyang adalah nama seorang mPu, bukan nama dapur keris. Juga ada keris dapur Puthut Kembar yang pada bilahnya terdapat rajah dalam aksara Jawa kuno yang tertulis “Umpyang Jimbe”. Ini juga merupakan keris buatan baru, mengingat tidak ada sama sekali dalam sejarah perkerisan dimana sang mPu menuliskan namanya pada bilah keris sebagai Label atau “trade mark” dirinya. Ini merupakan kekeliruan yang bisa merusak pemahaman terhadap budaya perkerisan. Puthut, dalam terminologi Jawa bermakna Cantrik, atau orang yang membantu atau menjadi murid dari seorang Pandhita / mPu pada jaman dahulu. Bentuk Puthut ini konon berasal dari legenda tentang cantrik atau santri yang diminta untuk menjaga sebilah pusaka oleh sang Pandhita. Juga diminta untuk terus berdoa dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bentuk orang menggunakan Gelungan di atas kepala, menunjukkan adat menyanggul rambut pada jaman dahulu. Bentuk wajah, walau samar tetapi masih terlihat jelas guratannya. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa dapur Puthut mulanya dibuat oleh mPu Umpyang yang hidup pada era Pajang awal. Tetapi inipun masih belum bisa dibuktikan secara ilmiah karena tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah.
Pajang, dalam buku Negara Kertagama yang ditulis pada jaman Majapahit, disebutkan adanya Pajang pada jaman tersebut. Oleh karena itu, sangat sulit untuk mengidentifikasi, apakah keris dengan besi Majapahit tetapi juga ada ciri keris Pajang bisa dikatakan tangguh Pajang – Majapahit, yang berarti keris buatan Pajang pada era Majapahit akhir (?).
Keris Lurus SUMELANG, dalam bahasa Jawa bermakna kekhawatiran atau kecemasan terhadap sesuatu. Sedangkan Gandring memiliki arti setia atau kesetiaan yang juga bermakna pengabdian. Dengan demikian, Sumelang Gandring memiliki makna sebagai bentuk dari sebuah kecemasan atas ketidaksetiaan akibat adanya perubahan. Ricikan keris ini antara lain : gandik polos, sogokan satu di bagian depan dan umumnya dangkal dan sempit, serta sraweyan dan tingil. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa keris dapur Sumelang Gandring termasuk keris dapur yang langka atau jarang ditemui walau banyak dikenal di masyarakat perkerisan. (Ensiklopedia Keris : 445-446). Konon salah satu pusaka kerajaan Majapahit ada yang bernama Kanjeng Kyai
Sumelang Gandring. Pusaka ini hilang dari Gedhong Pusaka Keraton. Lalu Raja menugaskan mPu Supo Mandangi untuk mencari kembali pusaka yang hilang tersebut. Dari sinilah berawal tutur mengenai nama mPu Pitrang yang tidak lain juga adalah mPu Supo Mandrangi. (baca : Ensiklopedia Keris : 343-345).

TILAM UPIH
dalam terminologi Jawa bermakna tikar yang terbuat dari anyaman daun untuk tidur. Diistilahkan untuk menunjukkan ketenteraman keluarga atau rumah tangga. Oleh karena itu banyak sekali pusaka keluarga yang diberikan secara turun-temurun dalam dapur tilam Upih. Ini menunjukkan adanya harapan dari para sesepuh keluarga agar anak-cucunya nanti bisa memperoleh ketenteraman dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Sedangkan Pamor ini dinamakan UDAN MAS TIBAN. Ini karena terlihat dari penerapan pamor yang seperti tidak direncanakan sebelumnya oleh si mPu. Berbeda dengan kebanyakan Udan Mas Rekan yang bulatannya sangat rapi dan teratur, Udan Mas Tiban ini bulatannya kurang begitu teratur tetapi masih tersusun dalam pola 2-1-2. Pada tahun 1930-an, yang dimaksud dengan pamor Udan Mas adalah Pamor Udan Mas Tiban yang pembuatannya tidak direncanakan oleh sang mPu (bukan pamor rekan). Ini dikarenakan pamor Udan Mas yang rekan dicurigai sebagai pamor buatan (rekan). Tetapi toh juga banyak keris pamor udan mas rekan yang juga merupakan pembawaan dari jaman dahulu.
Oleh banyak kalangan, keris dengan Pamor Udan Mas dianggap memiliki tuah untuk memudahkan pemiliknya mendapatkan rejeki. Dengan rejeki yang cukup,diharapkan seseorang bisa membina rumah tangga dan keluarga lebih baik dan sejahtera.Lar GangSir konon merupakan kepanjangan dari GeLAR AgeMan SIRo yang memiliki makna bahwa Gelar atau jabatan dan pangkat di dunia ini hanyalah sebuah ageman atau pakaian. Suatu saat tentu akan ditanggalkan. Karena itu jika kita memiliki jabatan/pangkat atau kekayaan, maka janganlah kita SOMBONG dan TAKABUR (Jawa = Ojo Dumeh).
Jangan mentang-mentang memiliki kekuasaan, pangkat dan jabatan atau kekayaan, maka kita bisa seenaknya sendiri sesuai keinginan kita tanpa memikirkan kepentingan orang lain.

legenda keris pusaka
1. Keris Empu Gandring&gt
Keris ini tak jelas lurus atau berluk, karya Empu Gandring (13M). Empu Gandring dibunuh oleh Ken Arok, dikarenakan keris pesanannya belum jadi. Menjelang ajal, sang Empu mengutuk jika kelak keris buatannya tersebut akan membunuh sampai 7 turunan, mereka ialah: Empu Gandring, Akuwu Tunggul Ametung (suami Ken Dedes), Ken Arok, Pesuruh Anusapati (anak tiri Ken Arok), Anusapati, dan yang terakhir terbunuh adalah Tohjaya tahun 1428, terluka disaat ada pemberontakan di Istana. Dan keris karya Empu Gandring pada abad 13 itu, sekarang ditanam didalam candi Anusapati alias candi jago, di Tumpang kabupaten Malang - Jawa Timur.
2. Keris Jalak Sumelang Gandring&gt
Prabu Brawijaya II mengutus Empu Supa Mandrangi untuk mencari keris Jalak Sumelang Gandring miliknya yang hilang. Empu Supa Mandrangi menyanggupinya, lalu pergi ke Blambangan dengan berganti nama Empu Pitrang. Karena kepandaiannya sebagai Empu pembuat keris, Sang Adipati Blambangan memesan keris kepada Empu Pitrang sambil membawa contohnya. Ternyata, keris tersebut adalah Jalak Sumelang Gandring milik sang Prabu Brawijaya. Maka Empu Pitrang membuat 2 bilah keris duplikatnya. Setelah selesai, keris pesanan Adipati Ciung Lautan diserahkannya, sedangkan aslinya disembunyikannya. Senang, hati sang Adipati menerima hasil karya Empu Pitrang, sebagai hadiahnya, Adipati Blambangan tersebut menikahkan putrinya dengan Empu Pitrang. Sebenarnya sudah seringkali sang putri Adipati dinikahkan, namun, kesemua suaminya mati secara misterius. Mengetahui adanya peristiwa aneh tersebut, maka dengan segala kesaktiannya Empu Pitrang menyelidiki penyebabnya, akhirnya Empu Pitrang tahu jika dikemaluan sang putri bersembunyi ular "welang". Maka tidak heran jika setiap menyenggamainya selalu mati digigit ular welang. Kemudian Empu Pitrang mengeluarkan ular welang tersebut dan menanamnya dibawah pohon "kara", sebangsa sayuran buncis. Akan tetapi malam harinya ular tersebut sudah tidak ada dan berubah menjadi sebilah keris pusaka berluk 3, yang oleh Empu Pitrang diberi nama keris "karawelang". Sewaktu sang putri hamil, Empu Pitrang pamit pergi ke Kerajaan Majapahit sambil menitipkan pesan, jika kelak anaknya lahir agar diberi nama Jaka Sura. Sesampainya Di Kerajaan Majapahit, Empu Pitrang alias Empu Mandrangi menyerahkan keris pusaka jalak sumelang gandring kepada Prabu Brawijaya, yang telah ditemukannya kembali. Sangat gembira hati Sang Prabu, yang kemudian menganugerahi gelar " Pangeran Sedayu". Ditempat yang lain setelah selang beberapa waktu lamanya, Jaka Sura lahir. Dan diketika beranjak dewasa, Jaka Sura pergi mencari ayahnya Empu Pitrang ke Majapahit. Disepanjang perjalanannya, Jaka Sura membuat keris-keris yang aneh, hanya dipijit-pijit dengan tangan tanpa ditempa, serta ujungnya dilubangi untuk mengkaitkannya dengan tali. Kemudian setiap berjumpa dengan seseorang keris tersebut diberikannya. Akhirnya Jaka Sura berhasil bertemu dengan ayahnya Pangeran Sedayu alias Empu Supa Mandrangi alias Empu Pitrang. Lalu keduanya sama-sama mengabdi di Keraton Majapahit. Berikut ciri khas pusaka buatan Jaka Sura: 1. keris-keris pijitan dan pesinya berlubang. 2. Pedang ampuh, mampu mematahkan pintu. Oleh Prabu Brawijaya diberi nama " Pedang Sang Lawang ".
3. Keris condong campur VS keris sengkelat&gt
Suatu ketika kerajaan Majapahit tertimpa pageblug dan Empu Supa Mandrangi mendapat perintah Prabu Brawijaya untuk mengatasinya. Dari hasil bersemedi, Empu Supa mengetahui jika pusaka keraton Majapahit yang bernama Condong Campur selalu menganga menginginkan darah manusia. Lalu dengan bahan besi pilihan Empu Supa membuat keris berluk 11 Naga Sasra Sabuk Inten dan keris berluk 13 Sengkelat. Setelah jadi, keduanya ditempatkan satu peti ...
...dengan Condong Campur, disitulah Sengkelat berkelahi melawan Condong Campur. Ujung keris condong campur patah, musnah keangkasa raya, sambil mengancam rakyat akan balas dendam jika terlihat Bintang Kemukus disebelah barat. Itulah sebabnya orang Jawa percaya jika ada bintang kemukus dilangit pada malam hari merupakan pertanda adanya wabah penyakit yang menjangkiti rakyat, oleh karenanya untuk menolaknya orangpun membuat sesaji.
4. Tombak baru klinthing&gt
Pada masa Kerajaan Pajang, bertapalah seekor ular Naga melingkari puncak gunung merapi. Ki Ageng Pemanahan menerima bisikan ghaib bahwa, bila ular naga itu berhasil melingkarkan dirinya dipuncak merapi, jayalah Kerajaan Pajang dan Suta Wijaya anak Ki Ageng Pemanahan tak bisa menjadi Raja. Ular naga tadi nyaris sampai melingkarkan kepala dan ekornya dan Ki Ageng Pemanahan minta bantuan kepada Ki Ageng Wanabaya di Mangir yang terkenal sakti. Jika berhasil, Ki Ageng Mangir akan diberi separo negeri Pajang. Akhirnya Ki Ageng Mangir mampu mencegah usaha ular naga dengan memotong lidahnya disaat ular naga menjulurkan kepala dengan lidahnya. Lidah Naga tersebut menghilang dan berubah wujud menjadi pusaka sebilah tombak. Ki Ageng Wanabaya Mangir mengambilnya dan diberi nama Tombak Baru Klinthing. Pada gilirannya, Ki Ageng Pemanahan berhasil merebut Pajang dan Sutawijaya mendirikan Kerajaan Mataram bergelar "Panembahan Senapati. Tapi, janjinya diingkari, lalu Ki Ageng Wanabaya menjadi pembangkang. Pihak Mataram berupaya menaklukkan Ki Ageng Wanabaya. Dikorbankanlah Sang Putri mahkota Pembayun. Dia dan abdinya menyamar sebagai ledek disekitar daerah Mangir. Terpesonalah Ki Ageng Mangir dengan rombongan kecil ledek pembayun, yang akhirnya diangkat menjadi istri. Pada suatu kesempatan pembayun melaksanakan tugasnya, mengusap tombak pusaka sakti baru klinthing dengan sampur sonder ikat pinggang ledek. Disaat tombak pusaka sudah berkurang kesaktiannya, yang bertepatan pula dengan kehamilan sang putri Pembayun, maka mengakulah bahwa sebenarnya Pembayun adalah putri mahkota anak panembahan senopati. Walaupun dengan berat hati, Ki Ageng Wanabaya melaksanakan permintaan agar sungkem ke mertuanya. Disaat sungkem, Kepalanya ditatapkan kebatu gilang oleh Panembahan Senapati. Seketika itu pula Ki Ageng Wanabaya menemui ajalnya. Jenazahnya yang separo dikebumikan dipemakaman keluarga Raja-raja Mataram, separohnya lagi diluar batas makam kerajaan, suatu simbol separuh musuh separuh anak menantu. Kini pusaka tombak baru klinthing tersimpan di Keraton Mataram Yogyakarta.
Keris dan Tosan Aji lainnya, bagi Masyarakat Nusantara tentu memiliki makna tersendiri, bukan saja tentang tuah ataupun yoni, tetapi juga makna budaya, sejarah dan filosofi yang sarat makna, bahkan telah menjadi semacam Filosofi Hidup.
Berbagai buku telah mengupas banyak tentang keris. Berbagai forum diskusi, baik yang santai sambil disambi ngopi, setengah serius dan sampai yang serius berbentuk seminar dan lokakarya telah pula dilakukan. Perdebatan dan kesamaan pendapat selalu muncul mengiringi perkembangan budaya keris.

Keris, dari jaman dahulu hingga sekarang telah menjadi suatu benda yang menarik untuk dimiliki sebagai benda koleksi, dipandang sebagai suatu bentuk karya seni dan spiritual yang sangat indah maupun diperbincangkan dari berbagai aspek. Bukan saja pada aspek fisik maupun non fisik, tetapi juga aspek sejarah dan evolusi perkembangannya.
Sebut saja beberapa keris yang hingga sekarang selalu diperdebatkan seperti keris buatan mPu Gandring dari jaman Singosari yang terus menjadi perdebatan hingga saat ini tanpa pernah terbukti keberadaannya kecuali ditinjau dari aspek filosofi sejarah, Legenda keris Condong Campur jaman Majapahit, asal muasal keris Tamingsari dan banyak lagi. Semua itu ternyata makin memperkaya khazanah budaya perkerisan, baik di Tanah Air maupun di manca negara. Tentu kita patut bersyukur atas adanya berbagai macam perdebatan itu, dan bukankah perbedaan pandangan sesungguhnya adalah suatu karunia dari Tuhan Yang Maha Esa ?
Di Indonesia, khususnya Jawa, Sumatera dan Bugis serta Bali, telah mengenal keris sejak jaman Kabudhaan. Perkembangan ilmu pembuatan keris, ilmu penerapan pamor sampai pada pemahaman terhadap makna filosofi keris kian tahun kian berkembang maju, sampai pada masa Kerajaan Singosari sampai Mataram Sultan Agung, bahkan sampai sekarang, keris telah diposisikan sebagai suatu benda multi fungsi dan multi makna. Kadang kita temui keris yang dianggap sebagai “Sikep” atau “Piyandel”, ada pula keris yang digunakan sebagai “Senjata Pamungkas” saat peperangan, keris juga bisa digunakan sebagai “Sengkalan” atau pertanda atas suatu kejadian penting, serta berbagai fungsi keris lainnya yang tentu sangat banyak.
Dalam budaya Jawa tradisional, keris tidak semata-mataa dianggap sebagai senjata tikam yang memiliki keunikan bentuk maupun keindahan pamor, akan tetapi juga sebagai kelengkapan budaya spiritual. Ada satu anggapan yang berlaku di kalangan Jawa tradisional yang mengatakan, seseorang baru bisa dianggap paripurna jika ia sudah memiliki lima unsur simbolik: curiga, turangga, wisma, wanita, kukila.
Curiga, secara harafiah artinya keris, turangga artinya kuda atau kendaraan (simbol masa kini adalah motor atau mobil), wisma adalah rumah, wanita arti khususnya isteri, dan kukila arti harafiahnya adalah burung. Arti simbolik burung di sini, bagi seorang pria Jawa tradisional, ia harus mampu mengolah, menangkap dan menikmati keindahan serta berolah-seni. Curiga, atau keris, secara simbolik maksudnya adalah kedewasaan, keperkasaan dan kejantanan. Seorang pria Jawa tradisional, harus tangguh dan mampu melindungi diri, keluarga atau membela negara. Perlambangnya adalah keris.
Pada zaman kerajaan-kerajaan di masa lalu, tanda mata paling tinggi nilainya adalah keris. Pemberian paling berharga dari seorang Raja Jawa kepada para perwiranya atau abdi dalem, adalah keris.
Pada perkembangannya, keris di lingkungan kerajaan bisa menjadi simbol kepangkatan. Keris seorang Raja, tentu saja berbeda dengan keris perwira atau abdi dalem bawahannya. Tidak hanya bilah kerisnya saja yang berbeda, akan tetapi juga detil-detil perhiasan serta perabot yang melengkapinya pun berbeda.
Gradasi kepangkatan dari pemilik keris, juga bisa ditilik dari warangka yang menyarungi atau membungkus bilah keris. Warangka seorang Raja, tentu saja berbeda dengan warangka bawahannya. Bila seorang ksatria, tepat kiranya bila warangka yang dipakainya adalah warangka dengan wanda (model) kasatriyan. Pejabat kerajaan, memakai warangka kadipaten. Ada lebih dari 25 varian warangka Jawa di masa lalu yang bisa menjadi indikator kepangkatan pemiliknya. Bahkan daerah asal pun bisa ditilik dari warangkanya, apakah pemiliknya orang dari Yogyakarta, Surakarta, Banyumas, Jawa Timur, Madura atau Bali.
Salah satu keunikan keris adalah kekuatannya pada detil. Hampir setiap detil yang melekat pada keris, baik pada bilahnya, warangka maupun perabotnya semuanya bisa menjadi simbol. Dari ukiran atau pegangan keris pun, pada masa lalu orang bisa menilik derajat dan kepangkatan. Varian ukiran keris Jawa pun, seperti halnya warangka, ada berbagai macam varian. Dibagi dalam dua garis besar gaya: Surakarta dan Yogyakarta. Di luar itu, tentu masih ada lagi gaya lain warangka atau ukiran luar Jawa seperti: Madura, Bali, Lombok, Sulawesi, Sumatera.
Di lingkungan keraton Surakarta masa lalu, misalnya, ukiran tunggak semi gaya Paku Buwono atau Yudowinatan, hanya boleh dipakai oleh seorang Raja. Pendhok (selongsong logam pada bungkus bilah) dengan warna kemalo (sejenis cat tradisional berwarna merah, hijau, coklat dan hitam), dulu dimaksudkan untuk membedakan derajat dan kepangkatan penyandangnya. Kemalo warna merah, misalnya, khusus untuk Raja dan kerabatnya, atau bangsawan dengan pangkat serendah-rendahnya Bupati. Kemalo warna hijau, untuk para mantri (menteri, perwira pembantu Raja). Pendhok kemalo warna coklat, untuk para bekel atau administratur menengah kebawah. Sedangkan pendhok hitam, untuk para abdi dalem, atau rakyat jelata.
Ada kalanya seseorang mendapatkan penghargaan dari seorang pejabat atau penguasa karena jasa-jasanya, dalam wujud sebilah keris dengan hiasan tertentu. Salah satu contoh klasik, adalah keris dengan ganja kinatah emas dengan relief Gajah-Singa, dulu dihadiahkan oleh Raja Mataram Sultan Agung kepada para perwiranya yang berhasil menumpas Pemberontakan Pragola, Kadipaten Pati di Jawa Tengah pesisir utara.
Bila dijabarkan dalam kalimat, gambar kinatah pemberian Sultan Agung itu berbunyi: Gajah Singa Keris Siji. Gajah itu 8, Singa 5, Keris 5, Siji 1. Jika dibaca dari belakang, berbunyi angka tahun Jawa 1558, yaitu tahun kemenangan Sultan Agung (Mataram) atau Kadipaten Pati.
Selain tanda penghargaan, keris yang diberi hiasan kinatah emas di bagian ganjanya, pada masa lalu juga dimaksudkan untuk menjadi peringatan waktu, tahun, yang tentunya dalam hitungan Tahun Jawa. Dalam khasanah budaya Jawa tradisional, disebut sebagai candra sengkala atau sengkalan. Gambar atau wujud benda, binatang, tumbuhan yang dikinatahkan juga bisa diartikan sebagai kronogram untuk menunjuk angka tahun.
Pada masa lalu, keris juga dipakai sebagai simbol identitas diri, entah itu diri pribadi, keluarga atau bahkan klan. Keris dengan dhapur (model), pamor (damascene) ataupun asesori tertentu, merupakan ciri khas milik pribadi, keluarga atau klan tertentu yang mempunyai kelebihan kepribadian atau karakter dalam masyarakat luas.
Dhapur Carubuk, dengan pamor pandita abala pandita, misalnya, dulu biasa dipakai oleh para Brahmana atau rohaniwan. Sedangkan dhapur Sengkelat pamor blarak ngirit, untuk para Raja atau penguasa.
Keris juga bisa berfungsi sebagai pertanda atribut utusan Raja, atau Duta Besar Raja. Apabila seseorang mendapat tugas dari Raja, semisal untuk mewakili Raja pada suatu acara penting menyangkut tugas kenegaraan yang mengandung risiko, maka kepada orang tersebut Raja meminjamkan sebuah keris pusaka milik sang Raja yang ‘bobot spiritual’nya sepadan dengan bobot tugas yang diembankan. Dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa tradisional, keris pada lalu juga berfungsi seremonial, menjadi lambang persaudaraan, persahabatan, perkawinan. Sudah menjadi kelaziman dalam hubungan pergaulan dengan orang lain, atau keluarga satu dengan keluarga lain, mereka mengikat tali persahabatan dengan bertukar tanda mata. Salah satu simbol persaudaraan atau persahabatan, dulu biasa ditandai dengan tukar-menukar keris. Bentuk persahabatan yang memakai simbol seperti ini, dulu dianggap sebagai bentuk hubungan erat dengan tingkat etika yang tinggi.
Dalam upacara perkawinan adat Jawa tradisional, apabila seorang calon mempelai laki-laki berhalangan datang, misalnya saja sedang mendapat tugas negara di tempat jauh dan tidak mungkin bisa menghadiri upacara, ia bisa “diwakili” secara simbolis dengan sebilah keris pusaka milik mempelai lelaki. Dalam upacara perkawinan itu, keris mempelai lelaki diperlakukan seperti layaknya calon mempelai lelaki sendiri, didudukkan bersanding mempelai wanita di pelaminan.
Bagi masyarakat Jawa tradisional, upacara perkawinan seperti itu sudah dianggap sah, meski mempelai lelaki secara fisik tidak hadir dalam upacara, dan hanya “diwakili” sebilah keris pusakanya.
Masih dalam lingkup seremonial perkawinan. Apabila mempelai lelaki menjalani upacara sungkeman (menghormati orang tua, dengan berlutut menyembah orang tua), keris yang disandang oleh mempelai lelaki harus dilepas lebih dahulu. Hal ini maksudnya, orang tua sehebat apapun, tidak boleh disembah oleh seorang menantu yang sedang menyandang keris pusaka. Karena, dalam anggapan orang Jawa tradisional, keris dianggap lebih tua dari orang tua yang di-sungkemi. Bahkan keris lebih tua dari siapapun yang hadir dalam acara perkawinan tersebut. Dalam makna mistiknya orang Jawa kuno, dimaksudkan agar orang tua tersebut tidak kuwalat (kena akibat buruk karena tindakan tidak hormat) terhadap keris mempelai lelaki.
Dalam hubungan keluarga, antara orang tua dan anak, tali persaudaraan ini juga ditandai dengan pemberian hadiah yang dalam khasanah budaya Jawa disebut sebagai kancing gelung, atau cundhuk ukel. Perwujudannya adalah sebuah keris, lengkap dengan perabotnya yang diberikan orang tua kepada anak perempuannya yang baru saja menikah. Maksudnya agar pemeliharaan keris tersebut kelak menjadi tanggung jawab suaminya. Sebuah arti simbolis pula untuk penyerahan anak perempuannya, agar dipelihara dan dihidupi oleh suami yang menikahinya. Selain makna-makna duniawi di atas, keris dalam kehidupan Jawa tradisional juga memiliki makna spiritual: sebagai manifestasi falsafah, wasiat atau pusaka. Dalam lingkup dunia mistik, sebagai azimat, medium komunikasi serta tempat bersemayamnya roh atau “yoni”. Hal terakhir ini, meskipun merupakan paham kuno, namun masih banyak orang Jawa modern saat ini yang mempraktekkannya.
Dari perkembangan tersebut akhirnya memunculkan berbagai ilmu pengetahuan terhadap keris, seperti ilmu yang mempelajari besi, ilmu yang mempelajari pamor, Penangguhan atau penentuan atas perkiraan jaman pembuatan sampai pada ilmu mengenai sandangan keris atau wrangka. Kesemua sesungguhnya telah membentuk suatu budaya yang multi dimensi dan kompleks. Dengan semakin banyaknya pandangan terhadap keris tersebut, tentu pada akhirnya akan melahirkan suatu perdebatan. Dan ini sangat wajar.
Jangankan kita membicarakan mengenai aspek non fisik yang tersamar, tentang fisik keris yang sangat nyata seperti bahan besi, bahan dan bentuk pamor saja juga masih membingungkan kita dan menjadi perdebatan yang kadang berakhir kurang menyenangkan. Katakanlah seperti pamor Raja Abala Raja – Ujung Gunung – Junjung Drajad dan Mancungan, sudah memunculkan banyak perbedaan penyebutan. Lalu apalagi ketika kita membicarakan aspek non fisik seperti sejarah dan tangguh keris dan siapa yang membuat keris yang kita miliki, padahal kita tidak pernah hidup pada jaman tersebut serta menimbang sangat samarnya literatur yang membahas mengenai hal tersebut.
Bagi saya pribadi, perbedaan pandangan tersebut, selama ditempatkan pada kerangka berfikir logis dan santun serta dilandasi keikhlasan menerima kelebihan dan kekurangan atas diri pribadi dan orang lain, adalah suatu bukti adanya Rahmat dari Tuhan yang tiada terhingga.

Makna Filosofi dan Arti Sejarah,
Dengan melihat begitu banyaknya ilmu tentang keris serta perdebatan didalamnya, alangkah lebih sarat makna bagi kita dalam diri pribadi masing-masing untuk selalu berupaya mempelajari makna sejarah, budaya dan filosofi keris dengan tanpa memandang apakah keris tersebut sudah aus, geripis ataukah masih utuh. Toh jika kita lihat, Kanjeng Kyai Kopek, pusaka kraton Jogjakarta yang dulunya dipesan Sunan Kalijaga kepada mPu Supo, pada bagian wadidhangnya sudah lubang dan tetap disimpan sebagai salah satu Keris Pusaka andalan Keraton Jogja karena memiliki muatan sejarah dan filosofi yang dalam dibandingkan sekedar bentuk atau wujud fisiknya. Dengan demikian, kebanggan atas sebilah keris tua yang masih utuh bagi saya hanyalah kesenangan semu yang hampa jika tidak diikuti dengan pemahaman terhadap sejarah dan filosofi keris.
“Pamor keris boleh rontok, besi keris bisa saja terkikis aus karena usia, dan wrangka keris bisa saja rusak karena jaman, tetapi pemahaman atas sejarah dan filosofi sebilah keris akan selalu hidup dalam hati dan pikiran kita dan akan kita turunkan pada generasi selanjutnya”.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap sejarah dan kebudayaan masyarakat jaman dahulu sangatlah memegang peranan penting dalam memahami tentang budaya perkerisan.
Katakanlah mengapa konon Sultan Agung Hanyokrokusumo ketika awal masa pemerintahannya sering memesan keris Luk 3 dapur Jangkung kepada Ki Nom ? Mengapa keris Luk 13 banyak dipesan ketika seorang Raja sudah lama memerintah dan hendak lengser keprabon ? Mengapa keris tangguh Pengging yang paling tinggi maknanya adalah yang ber Luk 9 ? Mengapa keris luk 1 dapur Pinarak selalu mengingatkan bahwa kehidupan kita di dunia ini sesungguhnya hanya sementara untuk mampir duduk (pinarak) ? Kesemua itu ternyata menunjukkan bahwa sesungguhnya keris memiliki makna yang lebih dalam dan sangat kaya daripada sekedar masalah pamor, dapur dan tangguh serta keutuhannya yang sampai sekarang masih terus menjadi perdebatan. Tentunya dengan tidak mengesampingkan ilmu atas fisik keris seperti dapur, pamor maupun tangguhnya.
Dengan menempatkan keris sebagai benda yang memiliki makna filosofi mendalam, maka kita sebenarnya telah berusaha memahami apa keinginan sang mPu dan orang yang memesannya dahulu ketika membabar keris tersebut. Karena tentunya para mPu dan orang yang memesannya tersebut sebenarnyna juga memiliki harapan-harapan yang tentunya bermaksud baik. Dengan memahami makna filosofi dari sebuah keris tersebut, maka sudah pasti kita turut “Nguri-uri”, melestarikan budaya keris karena salah satu makna keris tersebut adalah sebagai simbol dari adanya suatu harapan dan doa.

Sebenarnya keris sendiri memiliki berbagai macam bentuk, ada yang bermata berkelok kelok (7, 9 bahkan 13), ada pula yang bermata lurus seperti di daerah Sumatera. Selain itu masih ada lagi keris yang memliki kelok tunggal seperti halnya rencong di Aceh atau Badik di Sulawesi.

Bagian-bagian keris

Sebagian ahli tosan aji mengelompokkan keris sebagai senjata tikam, sehingga bagian utama dari sebilah keris adalah wilah (bilah) atau bahasa awamnya adalah seperti mata pisau. Tetapi karena keris mempunyai kelengkapan lainnya, yaitu wrangka (sarung) dan bagian pegangan keris atau ukiran, maka kesatuan terhadap seluruh kelengkapannya disebut keris.

* Pegangan keris

Pegangan keris ini bermacam-macam motifnya , untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai patung dewa, patung pedande, patung raksaka, patung penari , pertapa, hutan ,dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia .

Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau) , Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.

Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng dan bungkul.

* Wrangka atau Rangka

Wrangka, rangka atau sarung keris adalah bagian (kelengkapan) keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, karena bagian wrangka inilah yang secara langsung dilihat oleh umum . Wrangka yang mula-mula (sebagian besar) dibuat dari bahan kayu (jati , cendana, timoho , kemuning, dll) , kemudian sesuai dengan perkembangan zaman maka terjadi perubahan fungsi wrangka (sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya ). Kemudian bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading.

Secara garis besar terdapat dua macam wrangka, yaitu jenis wrangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong dan gandek.

Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkimpoian, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).

Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman , pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana.

Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut gandar atau antupan ,maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran ) .

Karena fungsi gandar untuk membungkus , sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok . Bagian pendok ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah , dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ) , perak, emas . Untuk daerah diluar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis , Goa, Palembang, Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas , disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian.

Untuk keris Jawa , menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya , (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat , serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah . Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).

* Wilah

Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola , pinarak, jamang murub, bungkul , kebo tedan, pudak sitegal, dll.

Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris ( ukiran) . Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.

Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled , bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut , dungkul , kelap lintah dan sebit rontal.

Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah , dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal ( ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija ,atau keris tidak lazim .
Sejarah

Asal keris yang kita kenal saat ini masih belum terjelaskan betul. Relief candi di Jawa lebih banyak menunjukkan ksatria-ksatria dengan senjata yang lebih banyak unsur India-nya.


Keris Budha dan pengaruh India-Tiongkok

Kerajaan-kerajaan awal Indonesia sangat terpengaruh oleh budaya Budha dan Hindu. Candi di Jawa tengah adalah sumber utama mengenai budaya zaman tersebut. Yang mengejutkan adalah sedikitnya penggunaan keris atau sesuatu yang serupa dengannya. Relief di Borobudur tidak menunjukkan pisau belati yang mirip dengan keris.

Dari penemuan arkeologis banyak ahli yang setuju bahwa proto-keris berbentuk pisau lurus dengan bilah tebal dan lebar. Salah satu keris tipe ini adalah keris milik keluarga Knaud, didapat dari Sultan Paku Alam V. Keris ini relief di permukaannya yang berisi epik Ramayana dan terdapat tahun Jawa 1264 (1342 Masehi), meski ada yang meragukan penanggalannya.

Pengaruh kebudayaan Tiongkok mungkin masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan penghubung antara kebudayaan Tiongkok dan dunia Melayu. Terdapat keris sajen yang memiliki bentuk gagang manusia sama dengan belati Dongson.
Keris "Modern"

Keris yang saat ini kita kenal adalah hasil proses evolusi yang panjang. Keris modern yang dikenal saat ini adalah belati penusuk yang unik. Keris memperoleh bentuknya pada masa Majapahit (abad ke-14) dan Kerajaan Mataram baru (abad ke-17-18).

Pemerhati dan kolektor keris lebih senang menggolongkannya sebagai "keris kuno" dan "keris baru" yang istilahnya disebut nem-neman ( muda usia atau baru ). Prinsip pengamatannya adalah "keris kuno" yang dibuat sebelum abad 19 masih menggunakan bahan bijih logam mentah yang diambil dari sumber alam-tambang-meteor ( karena belum ada pabrik peleburan bijih besi, perak, nikel dll), sehingga logam yang dipakai masih mengandung banyak jenis logam campuran lainnya, seperti bijih besinya mengandung titanium, cobalt, perak, timah putih, nikel, tembaga dll. Sedangkan keris baru ( setelah abad 19 ) biasanya hanya menggunakan bahan besi, baja dan nikel dari hasil peleburan biji besi, atau besi bekas ( per sparepart kendaraan, besi jembatan, besi rel kereta api dll ) yang rata-rata adalah olahan pabrik, sehingga kemurniannya terjamin atau sedikit sekali kemungkinannya mengandung logam jenis lainnya.

Misalkan penelitian Haryono Arumbinang, Sudyartomo dan Budi Santosa ( sarjana nuklir BATAN Yogjakarta ) pada era 1990, menunjukkan bahwa sebilah keris dengan tangguh Tuban, dapur Tilam Upih dan pamor Beras Wutah ternyata mengandung besi (fe) , arsenikum (warangan )dan Titanium (Ti), menurut peneliti tersebut bahwa keris tersebut adalah "keris kuno" , karena unsur logam titanium ,baru ditemukan sebagai unsur logam mandiri pada sekitar tahun 1940, dan logam yang kekerasannya melebihi baja namun jauh lebih ringan dari besi, banyak digunakan sebagai alat transportasi modern (pesawat terbang, pesawat luar angkasa) ataupun roket, jadi pada saat itu teknologi tersebut belum hadir di Indonesia. Titanium banyak diketemukan pada batu meteorit dan pasir besi biasanya berasal dari daerah Pantai Selatan dan juga Sulawesi. Dari 14 keris yang diteliti , rata-rata mengandung banyak logam campuran jenis lain seperti cromium, stanum, stibinium, perak, tembaga dan seng, sebanyak 13 keris tersebut mengandung titanium dan hanya satu keris yang mengandung nikel.

Keris baru dapat langsung diketahui kandungan jenis logamnya karena para Mpu ( pengrajin keris) membeli bahan bakunya di toko besi, seperti besi, nikel, kuningan dll. Mereka tidak menggunakan bahan dari bijih besi mentah ( misalkan diambil dari pertambangan ) atau batu meteorit , sehingga tidak perlu dianalisis dengan isotop radioaktif. Sehingga kalau ada keris yang dicurigai sebagai hasil rekayasa , atau keris baru yang berpenampilan keris kuno maka penelitian akan mudah mengungkapkannya. Beberapa Keris Pusaka terkenal :

* Keris Mpu Gandring
* Keris Pusaka Setan Kober
* Keris Kyai Sengkelat
* Keris Pusaka Nagasastra Sabuk Inten
* Keris Kyai Carubuk
* Keris Kyai Condong Campur
dari berbagai sumber

Kesimpulan
Dalam dunia keris terdapat tiga kelompok pandangan yang berbeda. Pandangan pertama yang berkembang bahwa :
1. Keris adalah hasil kebudayaan, kagunan, atau kesenian.
2. Kemudian pandangan kedua yang telah sejak lama berkembang di kalangan masyrakat (Jawa), secara umum lebih meyakini bahwa keris merupakan senjata pusaka dikarenakan daya gaib atau tuah yang dimilikinya.
3. Sedangkan menurut pandangan ketiga yang berkembang di kalangan yang sangat terbatas, keris merupakan pusaka dengan berbagai variasi pemaknaannya dan dinyatakan dengan istilah-istilah yang hanya dikenali oleh kalangan tersebut.Terutama makna-makna sosial, historis, filosofis, etis dan religius-mistis.
Dari ketiga pandangan diatas dapat kita ketahui bahwa keris merupakan karya agung yang harus dilestarikan. Karena jika dilihat dari kacamata desain, sebuah keris memiliki berbagai keunikan yang sangat spesifik. Terbukti dengan penamaan setiap lekuk yang begitu detail disetiap bagiannya.
Jika ditilik dari makna yang terkandung pada sebilah keris, disitu tercermin kearifan lokal terutama masyarakat jawa yang menjadikan keris sebagai simbol kekuatan sekaligus mewakili karakter yang memilikinya. Desain keris mempunyai kekuatan tersendiri dalam membentuk kearifan lokal yang selanjutnya bisa menjadi indicator kebudayaan di suatu tempat.
Tips perawatan pusaka
Untuk menjaga/melestarikan pusaka supaya tidak rusak, sebaiknya pusaka dirawat sebagai berikut: 1. Setiap 35 hari sekali, pusaka sebaiknya diminyaki dengan minyak pusaka/mengoles memakai kuas (dengan ujung kuas 0,5cm-1cm); Agar mudah mengingat, adalah hari kelahiran/wetonannya yang punya pusaka tersebut. Tujuan peminyakan: supaya pusaka tidak mudah berkarat/korosif. 2. Setiap satu tahun sekali usahakan untuk selalu dijamas/diwarangi, meski pusaka masih tampak bersih. Hal ini dilakukan bertujuan supaya pusaka tetap terjaga seni keindahannya antara: Pamor/putih, Besi/hitam dan Baja/abu-abu. Serahkan jamasan tersebut kepada ahlinya untuk menghindari salah rawat dan luka tergores.

Referensi:
[1] Tedi. Serba-Serbi Keris. http://budayajawakejawen.blogspot.com/2010/04/keris_14.html. [last accessed: 12-02-2014 04:05AM].

No comments:

Post a Comment